Bisnis.com, PURWOKERTO - Pasal yang mengatur tentang aborsi di RUU KUHP menjadi sorotan pakar hukum dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Profesor Hibnu Nugroho.
Dia menilai ketentuan dalam Pasal 471 Ayat (3) Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) perlu diperjelas agar tidak disalahartikan untuk mempermudah aborsi.
"Kalau dilihat memang Pasal 251, 415, 469, 470, dan 471 RUU KUHP spiritnya untuk jangan sampai dengan mudah menggugurkan kandungan atau aborsi sehingga siapa pun yang terkait dengan pengguguran kandungan harus bertanggung jawab secara hukum," kata Prof. Hibnu Nugroho di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin (21/6/2021).
Dengan demikian, kata dia, korban perkosaan yang menggugurkan kandungannya juga harus bertanggung jawab secara hukum.
Jika korban perkosaan menggugurkan kandungannya, kata dia, berarti yang bersangkutan telah merampas hak untuk hidup dari janin yang di kandungnya.
"Jadi, korban perkosaan enggak boleh menggugurkan kandungan. Kalau hal itu dilakukan, yang bersangkutan bisa dipidanakan," katanya menegaskan.
Hal itu sesuai dengan Pasal 470 Ayat (1) RUU KUHP yang menyebutkan bahwa setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana penjara paling lama 4 tahun.
Terkait dengan Pasal 471 Ayat (3) RUU KUHP, Hibnu mengatakan bahwa pasal tersebut terdapat kejanggalan sehingga harus diterjemahkan agar tidak salah tafsir.
Dalam hal ini, Pasal 471 Ayat (3) RUU KUHP menyebutkan bahwa dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tidak dipidana.
"Saya kira ini, ya, jalan tengah. Sekarang pertanyaannya, ini bertentangan sekali dengan hak asasi manusia, ya, memang, iya? Ini menarik, tidak dipidana," katanya.
Ia mengatakan sisi positif dari larangan menggugurkan kandungan adalah untuk mengetahui siapa pelaku yang tidak bertanggung jawab terhadap korban perkosaan.
Akan tetapi, untuk klausul yang menyebutkan adanya kedaruratan medis seperti yang tercantum dalam Pasal 471 Ayat (3) RUU KUHP, kata dia, ke depan perlu penjelasan lebih konkret agar orang tidak mudah melakukan aborsi atau menggugurkan kandungan karena korban perkosaan.
"Artinya, mungkin harus ditunjukkan dahulu korban perkosaannya (yang menggugurkan kandungannya) disidangkan, juga kedarutan medisnya ini seperti apa. Ini saya kira perlu peraturan pemerintah atau PP, ataupun peraturan lain terjemahan dari Pasal 471 ini supaya tidak digunakan dengan mudah untuk menggugurkan kandungan, dengan mudah mengaku korban perkosaan," katanya.
Dalam hal ini, kata dia, implementasi dari Pasal 471 Ayat (3) RUU KUHP tersebut harus hati-hati dan parameternya juga harus jelas.
Adapun, Pasal 470 dan Pasal 471 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 470 ayat 1
Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Pasal 470 ayat 2
Jika aborsi dilakukan tanpa persetujuan perempuan hamil, maka pelaku terancam 12 tahun penjara. Jika aborsi menyebabkan kematian perempuan hamil, pelaku aborsi akan dipenjara 15 tahun.
Pasal 417 ayat 1.
Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 417 ayat 2
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan matinya perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.