Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

3 Hari Berturut-Turut Tambahan Covid-19 RI 12.000 Lebih, Kok Belum PSBB ?

Pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat mengatakan tidak setuju, jika dikatakan lonjakan Covid-19 varian India karena kesalahan rakyat.
Petugas kepolisian berjaga di Taman Pintar yang diduga menjadi penyebab penyebaran Covid-19 di Kayu Putih, Jakarta, Senin (7/6/2021)/Antara
Petugas kepolisian berjaga di Taman Pintar yang diduga menjadi penyebab penyebaran Covid-19 di Kayu Putih, Jakarta, Senin (7/6/2021)/Antara

Bisnis.com, JAKARTA – Penambahan kasus Covid-19 di RI lebih dari 12.000 orang dalam tiga hari berturut-turut.

Pada Minggu (21/6/2021), Satuan Tugas Penanganan Covid-19 melaporkan penambahan 13.737 orang. Dengan penambahan tersebut, total kasus positif Covid-19 di Tanah Air telah mencapai 1.989.909 kasus.

Sementara, pada Sabtu (19/6/2021), Satuan Tugas Penanganan Covid-19 melaporkan penambahan 12.906 kasus positif Covid-19.

Pada Jumat (18/6/2021), Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan kenaikan 12.990 kasus positif harian pada 18 Juni 2021.

Peningkatan kasus Covid-19 di RI membuat Organisasi Kesehatan dunia (WHO) menyarankan pemerintah menerapkan pembatasan sosial yang lebih besar di wilayah-wilayah dengan peningkatan signifikan kasus Covid-19 akibat mutasi virus.

Dikutip dari Channel News Asia, Kamis (17/6/2021), WHO mencatat bahwa peningkatan drastis tingkat hunian tempat tidur di Indonesia harus menjadi perhatian utama sehingga penerapan langkah-langkah kesehatan dan sosial yang lebih ketat perlu diambil, termasuk pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

“Dengan meningkatnya penularan karena varian kekhawatiran, diperlukan tindakan segera untuk mengatasi situasi di banyak provinsi,” ujar pihak WHO.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Profesor Zubairi Djoerban menyebut, bahwa  upaya ekstrem seperti karantina wilayah alias lockdown bisa menjadi opsi yang bisa diambil pemerintah untuk mengendalikan penyebaran Virus Corona.

“Meski tak populer di Indonesia, namun kebijakan lockdown terbukti efektif di beberapa negara. Sebut saja di India, yang dari 400 ribu kasus per hari, turun menjadi 70 ribu. Saya rasa, pandemi akan sulit terkendali jika jarak sosial ekstrem tidak diperaktikkan,” cuitnya melalui akun Twitter @ProfesorZubairi, Kamis (17/6/2021).

Di Jakarta

Sementara, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mempertanyakan kondisi keuangan pemerintah pusat seiring mencuatnya desakan pemberlakuan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketat.

Pertanyaan itu dilontarkan oleh Sekretaris Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi DKI Jakarta Pilar Hendrani menanggapi usulan PSBB ketat di Ibu Kota satu pekan terakhir.

Menurutnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah memberi sinyal lonjakan kasus konfirmasi positif Covid-19 di Ibu Kota pada awal Mei 2021. Hanya saja, sinyal itu terkesan tidak ditanggapi serius oleh pemerintah pusat.

“Mestinya sebelum ledakan sekarang, waktu Pak Gubernur ngomong begitu mestinya pemerintah pusat harus memberi respons cepat. Saya tidak tahu sudah direspons atau tidak kalau pun ada ya ala kadarnya saja kan, tidak serius,” kata Pilar melalui sambungan telepon kepada Bisnis, Minggu (20/6/2021).

Respons yang lamban itu, menurut Pillar, berkaitan dengan kondisi arus kas pemerintah pusat yang turut terkontraksi akibat pandemi Covid-19.

Hanya saja, dia enggan berspekulasi lebih jauh ihwal situasi keuangan pemerintah pusat.

“Pertanyaan saya sebenarnya, apakah pemerintah pusat masih punya duit apa tidak,” kata dia.

Ketua Bidang Komunikasi Publik Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Hery Trianto menjelaskan alasan pemerintah hingga saat ini tidak mengambil kebijakan penerapan "lockdown" atau karantina wilayah.

Dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (20/6/2021), dia menjelaskan, bahwa substansi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berbasis mikro sebagai kebijakan untuk mencegah penyebaran Covid-19 yang berjalan selama ini sama dengan "lockdown".

"Jadi jangan dibenturkan antara kebijakan lockdown dengan pembatasan kegiatan masyarakat. Substansinya sama, membatasi mobilitas masyarakat untuk menekan laju penularan," kata Hery.

PPKM Mikro

Pemerintah memperpanjang PPKM mikro, 15-28 Juni 2021. PPKM mikro menggunakan acuan beleid Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2021.

Aturan itu menjelaskan pembatasan kegiatan masyarakat berbasis mikro dan mengoptimalkan posko penanganan Covid-19 di desa dan kelurahan untuk pengendalian penyebaran Covid-19.

PPKM mikro membatasi kegiatan di tempat kerja/perkantoran, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, mengatur pemberlakuan pembatasan kegiatan restoran dan pusat perbelanjaan, mengatur kegiatan di tempat ibadah, kegiatan fasilitas umum, serta kegiatan seni, sosial dan budaya.

Hery mengatakan, petugas di lapangan memperketat pelaksanaan PPKM mikro melalui operasi yustisi yang melibatkan TNI dan Polri.

Petugas di lapangan memantau kegiatan dan menertibkan masyarakat yang tidak mematuhi protokol kesehatan.

"Tujuannya untuk mengurangi mobilitas agar masyarakat lebih banyak di rumah. Karena faktor penularannya manusia. Jadi, kalau aktivitas manusianya dikurangi, akan menekan penularan," kata dia.

Dikatakan, PPKM mikro sebenarnya cukup efektif menekan laju penularan Covid-19. Belakangan, kasus positif meningkat karena beberapa hal.

Seperti, masyarakat tidak mematuhi larangan bepergian, larangan mudik Lebaran. Padahal, pemerintah sudah berupaya agar masyarakat tidak bepergian dan mudik, tapi ternyata banyak yang tidak mengikuti imbauan pemerintah.

"Kasus di Kudus, kita tahu di sana ada ziarah setelah Lebaran di Sunan Muria dan Sunan Kudus, kemudian itu dianggap salah satu yang memicu penularan. Di Bangkalan juga sama, setelah Lebaran masyarakat punya tradisi berkumpul. Ketika berkumpul terjadi interaksi, terjadi risiko penularan," kata Hery.

Penyebab lainnya, lanjut dia, adalah varian baru Covid-19 yang diduga turut mempercepat penularan.

Di pihak lain, pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat mengatakan tidak setuju, jika dikatakan lonjakan Covid-19 varian India karena kesalahan rakyat.

“Varian India ini sudah masuk resmi lama di Asia Tenggara, namun masing-masing negara beda menyikapinya. Penyikapan Pemerintah Singapura langsung melakukan lockdown begitu mendengar varian India sudah masuk Changi, sementara pemerintah kita masih menyikapinya biasa-biasa saja, jelas lonjakan tersebut bukan salah rakyat, namun akibat pemerintah yang tidak pre-emptive dan antisipatif,” katanya melalui keterangan pers, Selasa (15/6/2021).

Direktur Eksekutif Narasi Institute ini berpandangan, lockdown nasional artinya tidak mengizinkan adanya pendatang asing baru datang ke Indonesia. Lalu, membatasi pergerakan orang asing yang sudah masuk ke Indonesia.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Nancy Junita
Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper