Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah India memberikan peringatan kepada Twitter untuk mematuhi peraturan baru terkait pengaturan media sosial di India. Meski begitu, peringatan yang dilayangkan pada Sabtu (5/6/2021) tersebut, dikritik oleh sejumlah pihak karena dinilai dapat memberikan kekuatan lebih banyak kepada pemerintah untuk mengatur ranah media sosial.
Adapun Twitter terlibat dalam pertempuran sengit dengan pemerintah India, yang sering memintanya untuk membatasi konten berisi tuduhan terhadap pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi yang diduga berusaha membungkam kritik, termasuk yang berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19.
Dalam surat yang dilayangkan kepada Twitter, Kementerian Elektronika dan Teknologi Informasi India telah meminta kepada Twitter untuk mematuhi pemerintah India sejak 26 Mei 2021. Namun Twitter belum memberikan respons positif sejauh ini.
Dilansir dari Press Trust of India, pemerintah lalu meminta Twitter untuk menjadikan surat tersebut sebagai peringatan terakhir. Jika tidak, perusahaan akan bertanggung jawab atas konsekuensinya.
Hingga saat ini, belum ada keterangan lebih lanjut tentang apa bentuk dari konsekuensi yang dinyatakan Pemerintah India. Sementara itu, belum ada jawaban resmi terkait dari pihak Twitter.
Pada bulan lalu, Twitter menyampaikan kekhawatirannya terhadap keamanan para stafnya di India, setelah pihak kepolisian mengunjungi kantor mereka di New Delhi. Kejadian itu bermula karena memberi label "manipulated media" (manipulasi) terhadap cuitan dari seorang juru bicara partai pemerintah.
"Akan tetapi, sebagaimana yang kami lakukan di berbagai belahan dunia, kami akan selalu dipandu secara ketat oleh prinsip-prinsip transparansi, komitmen untuk memberdayakan setiap suara di layanan ini, dan melindungi kebebasan berekspesi dan privasi di bawah aturan hukum," ujar pihak Twitter dalam sebuah pernyataan yang dilansir dari Associated Press, Sabtu (5/6/2021).
Adapun, peraturan baru di India mewajibkan platform internet seperti Facebook dan twitter untuk menghapus konten yang dianggap pihak otoritas melanggar hukum, serta membantu pihak kepolisian dalam mengidentifikasi asal dari informasi "nakal" tersebut.