Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah aliansi buruh yang terdiri dari Indonesia for Global Justice (IGJ) dan Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR) menggelar aksi peringatan hari buruh di 15 provinsi dan 54 Kabupaten/Kota menolak UU Cipta Kerja beserta sejumlah aturan turunannya.
Direktur Esekutif IGJ Rachmi Hertanti berpendapat aturan ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja gagal menjawab persoalan ihwal bonus demografi angkatan kerja di Tanah Air.
“Pengaturan ketenagakerjaan dibawah UU Cipta Kerja semakin membuat aturan yang lebih fleksible lagi. Artinya, ini akan meningkatkan jumlah pekerja informal yang pada akhirnya membuat skema jaminan menjadi tidak efektif”, kata Rachmi melalui keterangan tertulis, Sabtu (1/5/2021).
Lebih lanjut Rachmi menjelaskan fleksibilitas ketenagakerjaan bakal menempatkan Indonesia sebagai pelayan investasi asing yang menyediakan buruh murah, kemudahan perpajakan dan ekstraksi sumber daya alam dalam kegiatan regional value chains.
“Tidak ada aturan yang melindungi buruh hari ini. UU Cipta Kerja hanya memberikan celah bagi pengusaha untuk berlindung dan menghindar dari kewajibannya, terutama tanggung jawabnya kepada pekerja,” kata dia.
Terlebih, dampak negatif dari transformasi industri ke arah 4.0 yang membuat pekerja semakin rentan dari aspek perlindungan hak-hak dasarnya. Hal ini karena tidak adanya regulasi ketenagakerjaan yang secara tegas mengatur aspek perlindungan pekerja dalam kegiatan ekonomi digital hari ini.
“Pekerja semakin dihadapkan pada status yang tidak jelas ketika masuk dalam kegiatan ekonomi digital. Hubungan kerja yang disematkan dengan kata kemitraan membuat statusnya menjadi sangat rentan, tanpa adanya jaminan perlindungan yang dipenuhi oleh perusahaan aplikasi”, kata dia.
Sebelumnya, Pemerintah telah menerbitkan 49 peraturan pelaksana Undang-Undang 11/2020 tentang Cipta Kerja. Regulasi tersebut terdiri atas 45 peraturan pemerintah (PP) dan 4 peraturan presiden (perpres). Peraturan pelaksana tersebut juga telah diundangkan ke dalam Lembaran Negara RI.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan bahwa sejak awal UU Cipta Kerja dibuat untuk menjadi stimulus positif bagi peningkatan dan pertumbuhan ekonomi nasional yang akan membuka banyak lapangan kerja bagi masyarakat.
“UU Cipta Kerja ini juga merupakan terobosan dan cara pemerintah menangkap peluang investasi dari luar negeri lewat penyederhanaan izin dan pemangkasan birokrasi,” kata Yasonna dikutip dari situs Sekretariat Kabinet, Minggu (21/02/2021).
Yasonna menjelaskan bahwa pemberlakuan aturan turunan UU Cipta Kerja diharapkan bisa secepatnya memulihkan perekonomian nasional.
“Sekaligus menjadi momentum untuk menegaskan tahun kebangkitan Indonesia,” ujarnya. Dengan diundangkannya 49 peraturan pelaksana tersebut, ini menambah daftar aturan turunan yang telah diundangkan. Sebelumnya, sudah ada dua PP yang ditetapkan menjadi aturan, yakni PP 73/2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi dan PP 74/2020 tentang Modal Awal Lembaga Pengelola Investasi.
Adapun, secara keseluruhan aturan turunan yang menjadi implementasi UU Cipta Kerja rencananya akan ditetapkan sebanyak 49 PP dan 5 Perpres.
Sementara itu, UU 11/2020 diklaim pemerintah untuk menyediakan seluas-luasnya lapangan kerja yang berkualitas, memberdayakan usaha mikro kecil menengah (UMKM), menyederhanakan (simplifikasi) regulasi, dan meningkatkan ekosistem investasi dalam rangka percepatan proyek strategis nasional.
Pelaksanaan UU Cipta Kerja membutuhkan beberapa peraturan pelaksanaan teknis. Semuanya meliputi sektor penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko; kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan UMKM; perpajakan yang mendukung kemudahan berusaha; penataan ruang; lingkungan hidup dan kehutanan; sektor pertanahan; serta sektor ketenagakerjaan.