Bisnis.com, JAKARTA - Jenderal Senior Myanmar Min Aung Hlaing memberikan respons yang tidak disangka terkait proposal penyelesaian konflik yang diajukan Asean.
Hal itu paling tidak disampaikan Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin atas reaksi pimpinan junta militer Myanmar tersebut.
"Ini di luar perkiraan kami," kata PM Muhyiddin Yassin soal reaksi pemimpin militer Myanmar atas proposal Asean.
Jelas, sikap itu mengejutkan, terlebih untuk datang ke Jakarta pun kalangan diplomatik terkesan harus melakukan tarik ulur. Terutama menjaga mood Jenderal Min Aung Hlaing agar tidak "ngambek" dan tidak datang ke Jakarta.
Bisa jadi, itu sebabnya yang membuat hingga detik-detik akhir tidak ada penjelasan resmi dari Jakarta soal kedatangan sang jenderal. Kabar rencana kedatagan sang jenderal ke Jakarta justru beredar di Internet, melalui cuitan Twitter atau pemberitaan media di luar Indonesia.
Panglima Junta Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten (24/4/2021). /Antara/Biro Pers Istana-Rusan
Nyatanya, Jenderal Min Aung Hlaing, menurut PM Muhyiddin dan PM Singapura Lee Hsien Loong, mau mendengarkan semua tuntutan Asean. Ia tidak menolak lima usul Asean yang disepakati sebagai konsensus kawasan.
Kelima konsensus itu adalah:
- Kekerasan harus segera dihentikan dan semua pihak mesti menahan diri
- Dialog konstruktif di antara semua pihak terkait guna mencari solusi damai demi kepentingan rakyat
- Ketua Asean mengirimkan utusan guna memfasilitasi mediasi proses dialog dengan bantuan Sekretaris Jenderal Asean
- Asean memberikan bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre (Asean Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management)
- Utusan khusus dan delegasi mengunjungi Myanmar guna bertemu dengan semua pihak terkait
Konsensus tersebut dinilai sebagai kemajuan besar. Sebelum ini Asean bersilang pendapat soal Myanmar. Namun, sikap Jenderal Aung Hlaing benar-benar sebuah kejutan.
"Dia tak menentang Asean memainkan peran konstruktif atau kedatangan delegasi Asean atau bantuan kemanusiaan, dan bahwa mereka akan bekerja sama serta terlibat dengan Asean dalam cara konstruktif," kata PM Lee Hsien Loong seperti ditulis Antara.
Junta Melunak?
Terlalu dini menyatakan junta Myanmar tengah melunak atau berusaha mengoreksi sikapnya. Bahkan Thitinan Pongsudhirak, profesor Hubungan Internasional dari Universitas Chulalongkorn di Bangkok, menyebutkan undangan Asean kepada Aung Hlaing adalah lompatan besar untuk junta.
“Pengakuan” dari Asean dinilai akan menaikkan legitimasi junta di dalam negeri, sekalipun Indonesia menegaskan kehadiran Aung Hlaing di Jakarta adalah sebagai pemimpin militer, bukan sebagai kepala negara Myanmar.
Di balik itu semua, sulit menyangkal junta sedang menghadapi kenyataan pahit harus bertarung di segala front, baik politik, ekonomi maupun militer.
Unjuk rasa dan pembangkangan sipil yang tak pernah surut dan kian merambah ke pelosok negeri, semakin memojokkan junta.
Pemogokan yang diserukan gerakan pembangkangan sipil itu telah melumpuhkan pemerintahan dan sistem perbankan serta menggerogoti output ekonomi nasional. Padahal, sebelum kudeta, Myanmar adalah salah satu negara Asia Tenggara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat.
Perdagangan internasional juga terhenti karena puluhan ribu pekerja logistik dan transportasi serta pegawai pemerintah menuruti seruan mogok.
Sejumlah investor asing mengumumkan rencana hengkang atau menghentikan sementara kegiatan usahanya di Myanmar.
Investor lainnya, termasuk raksasa bir Kirin dari Jepang dan produsen baja Posco dari Korea Selatan, mengakhiri kemitraan dengan perusahaan-perusahaan militer Myanmar.
Serikat-serikat kerja juga mendesak rantai pangan asing berhenti membeli dari Myanmar.
Mengutip Financial Times, keadaan ini melumpuhkan perekonomian Myanmar sampai-sampai Bank Dunia memprediksi produk domestik bruto negara ini amblas 10 persen tahun ini. Fitch Solutions malah menyebut angka 20 persen.
Ancaman Hiperinflasi
Arus modal ke luar pun kian kencang. Myanmar kini mendekati situasi Argentina, Zimbabwe, Bolivia dan Yugoslavia di masa lalu yang lumpuh total akibat hiperinflasi, kemiskinan massal dan ambruknya nilai tukar.
Tindakan junta yang kian bengis tak mampu menghentikan pembangkangan sipil. Sebaliknya, junta dinilai kian frustrasi karena tidak kunjung menemukan formula untuk meredakan konflik. Antipati terhadap Tatmadaw (sebutan untuk militer Myanmar) semakin luas, sehingga menambah kesulitan untuk memenangkan hati rakyat.
Di sisi lain, tindakan yang semakin keras bisa membuat China dan Thailand yang berbatasan langsung dengan Myanmar dan rezimnya diam-diam menyokong junta, menjadi jengah. Pada titik tertentu bisa saja mereka turut ditekan dunia, khususnya PBB, Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Kepentingan China dan Thailand
China bersikap abu-abu terhadap junta karena mempertaruhkan kepentingan ekonominya, termasuk proyek pelabuhan Kyaukpyu di Myanmar barat di tepi Samudera Hindia yang bisa mempersingkat lalu lintas gas dan minyak.
Jika proyek itu selesai, China tidak lagi harus mengitari Selat Malaka dan Laut China Selatan yang empat kali lebih jauh.
China juga tengah membangun jalan kereta api sepanjang 1.215 km yang menghubungkan Kunming, ibukota Provinsi Yunnan di China selatan dan Kyaukpyu di Myanmar yang bertepi di Samudera Hindia.
Rezim Thailand yang prolog kekuasaannya juga diawali kudeta dan menjadi role model junta Myanmar, diam-diam mendukung junta.
Beberapa saat setelah kudeta 1 Februari, Aung Hlaing mengirimkan surat pribadi kepada PM Thailand Jenderal Purnawirawan Prayut Chan-o-cha yang naik berkuasa setelah didahului kudeta Mei 2014.
Tatmadaw memang terus mendapatkan dukungan Rusia yang menghadapi hambatan geografis untuk terus menyangga Tatmadaw tidak seperti dalam keterlibatan Rusia pada konflik Suriah. Sementara China dan Thailand lebih mempedulikan tekanan internasional.
China akan serba salah jika terus mendukung junta ketika tindakan-tindakan junta membuat PBB, Uni Eropa dan Amerika Serikat semakin keras menekan mereka.
Junta Terkepung
Perkembangan-perkembangan terakhir kian mempersulit posisi junta yang sudah terkepung secara ekonomi dan politik. Sampai-sampai Tatmadaw tak punya kesempatan mengonsolidasikan kekuasaan.
Hampir semua prakarsa politik Tatmadaw ditolak oleh bagian terbesar rakyat. Mereka lebih mendukung apa yang disebut Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar (NUG), termasuk oleh sejumlah kelompok separatis terkuat seperti Kachin Independence Army (KIA) yang menolak mengakui junta.
Pun demikian dengan Karen National Union (KNU). Kelompok pemberontak tertua di Myanmar itu menyatakan kudeta 1 Februari merusak Myanmar.
Kelompok separatis bersenjata yang berbasis di negara bagian Kayin yang berbatasan dengan Thailand itu beraliansi dengan gerakan pembangkangan sipil dan menentang junta.
Sedangkan Restoration Council of Shan State (RCSS) yang seperti negara bagian Kachin berbatasan dengan China, menyebut Tatmadaw telah melanggar “semua norma demokrasi” dan tak bisa dipercaya.
Serangan Kelompok Separatis
Pertempuran berkecamuk, termasuk di negara bagian Kachin dan Shan sejak 11 Maret.
KIA menyerang pos-pos militer dan polisi. Mereka mengancam terus melancarkan serangan jika junta terus menembaki unjuk rasa damai di negara itu.
Awal April lalu sejumlah aparat keamanan di Shan tewas diserang gerombolan bersenjata Arakan Army, Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang dan Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar.
Situasi ini memicu anggapan bahwa Myanmar di ambang perang saudara yang menghancurkan seperti terjadi di Suriah.
Anggapan itu muncul karena sebagian besar kelompok bersenjata yang oleh pemerintah Myanmar disebut Organisasi-organisasi Etnis Bersenjata (EAOs) menentang kudeta dan junta.
Skenario Suriah
Kekhawatiran terciptanya skenario Suriah di Myanmar diungkapkan Kepala Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet.
Ia menunjuk adanya kesamaan antara Myanmar saat ini dengan Suriah pada 2011. Saat itu gelombang protes damai dijawab oleh senjata yang kemudian menjadi bibit kekerasan yang dilakukan banyak kelompok di mana-mana. Suriah akhirnya hancur lebur oleh perang saudara bertahun-tahun.
Di antara EAOs, ada yang langsung kembali mengokang senapan begitu Tatmadaw mengkudeta Aung San Suu Kyi. Padahal mereka terikat gencatan senjata 31 Maret 2015 ketika Myanmar melangkah sepenuhnya ke transisi demokrasi.
Ini ditambah dengan gerakan pembangkangan sipil yang mulai mengadopsi kekerasan dengan menggunakan peralatan seadanya.
Aliansi Pembangkang Sipil dan EAOs
Para pembangkang sipil juga beraliansi dengan kelompok-kelompok perlawanan etnis dalam EAOs. Kelompok EAOs menurut International Crisis Group menguasai sepertiga wilayah Myanmar yang kebanyakan merupakan daerah-daerah perbatasan.
Represi militer sebelum transisi demokrasi pasca kemenangan Suu Kyu beberapa tahun lalu pun kembali menghantui etnis-etnis minoritas, begitu militer melancarkan kudeta 1 Februari.
Itu termasuk United Wa State Army yang didukung China dan berkekuatan 25 ribu orang. Ini adalah kekuatan militer nonnegara terbesar di dunia.
Wa adalah wilayah otonomi di negara bagian Shan.
Akibatnya, junta tidak hanya menghadapi pembangkangan sipil di kota-kota besar, tetapi juga ancaman perlawanan bersenjata dari EAOs. Jika digabungkan EAOs memiliki sekitar 100.000 tentara.
Sayap-sayap politik EAOs juga bisa bergerak lebih jauh dengan menuntut pemisahan diri.
Jika semua itu tak terkendali, lantas menciptakan konflik berskala luas, pengungsi bakal membanjiri negara-negara yang berbatasan dengan Myanmar seperti Bangladesh, India, China dan terutama Thailand yang memiliki perbatasan terpanjang dengan Myanmar.
Jika sampai Thailand direpotkan, Asean juga akan repot.
Energi Junta Terkuras
Banyaknya front yang harus dihadapi, dan kian tipisnya kepercayaan dari rakyat termasuk kaum muda yang menjadi garis depan pembangkangan sipil, energi junta terkuras. Junta tak punya waktu mengkonsolidasikan kekuasaan.
Hal itu diperparah oleh tekanan internasional yang semakin kencang, mengikuti semakin kerasnya tindakan junta terhadap gerakan sipil.
Bisa jadi, situasi yang ada, membuat junta tidak menolak lima proposal Asean yang sebenarnya sangat berat mereka luluskan di lapangan.
Sepertinya junta melihat mekanisme Asean sebagai cara terhormat dalam menyelamatkan muka untuk mundur perlahan.
Hal itu lebih baik daripada terlihat menyerah karena tekanan demonstrasi di dalam negeri atau sanksi Barat atau karena manuver terselubung China.
Pendulum mulai berubah, ini bisa menjadi momentum bagi Asean dan Indonesia untuk terus menekan junta agar menghidupkan kembali tatanan demokrasi.
Tak seperti kekuatan lain yang didorong oleh niat memburu akses ekonomi, menciptakan kekuatan proksi atau menjadikan Myanmar sebagai vassal-nya, sehingga tak segan menyudutkan junta, sikap Asean yang tak ingin menampar muka junta Myanmar di depan rakyatnya sendiri bisa menjadi kelebihan organisasi kawasan ini.
Dengan wajah seperti itu, Asean lebih berkesempatan meyakinkan junta bahwa organisasi kawasan ini tetap merupakan kanal paling andal bagi Myanmar. Junta bisa mengefektifkan usul-usul Asean di Myanmar, terutama memulihkan tatanan demokrasi sebelum kudeta dan persatuan nasional di sana.
Namun, Asean tetap mesti agresif menekan junta agar skenario Suriah tak terjadi di Myanmar. Kalau sampai terjadi, akibatnya bisa meluber ke seantero kawasan Asean.