Bisnis.com, JAKARTA - Untuk pertama kalinya dalam kurun lebih dari setengah abad, Amerika Serikat (AS) dan Jepang membuat pernyataan bersama tentang keamanan Selat Taiwan.
Pernyataan itu disampaikan usai pertemuan antara Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga Jumat (16/4/2021. Baik Biden maupun Suga tampaknya sama-sama memberikan perhatian besar terhadap perkembangan di wilayah itu, selain sama-sama punya kepentingan di Laut China Selatan.
Pertemuan itu menarik untuk disimak, karena tidak biasanya seorang Presiden AS yang baru dilantik mengurus soal Taiwan. Meski banyak kalangan menilai pertemuan itu lebih bersifat simbolis, tidak dapat ditampik pernyataan itu akan menjadi indikasi meningkatnya kekhawatiran tentang keamanan wilayah pulau yang memisahkan diri dari China Daratan tersebut.
Hal itu bisa dimaklumi. Apalagi pejabat senior militer AS selalu membeberkan tentang ancaman invasi Beijing yang kian menguat karena tetap mengklaim pulau itu sebagai miliknya.
Laksamana AS John Aquilino baru-baru ini mengatakan kepada komite Angkatan Bersenjata Senat bahwa merebut Taiwan adalah prioritas "nomor satu" bagi Partai Komunis China. Sedangkan, komandan AS untuk Asia Pasifik, Philip Davidson mengatakan secara terbuka, bahwa China dapat menyerang pulau itu dalam enam tahun ke depan.
Kekhawatiran semacam itu sulit untuk dibantah. Media Pemerintah China pun memberitakan meningkatnya jumlah misi pesawat Tentara Pembenasan Rakyat (PLA) yang terbang menuju zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) Taiwan.
Baca Juga
Hanya saja di Taiwan, anehnya, warganya tidak tertarik untuk meminta perlindungan salah satu dari 117.000 tempat perlindungan bom di pulau itu. Bahkan, mereka enggan mendaftar secara massal untuk mendapatkan fasilitas yang disediakan.
Tak Khawatir Invasi China
Setelah hidup di bawah ancaman aksi militer China selama 70 tahun terakhir, 23 juta orang di pulau itu ternyata telah memahami apa yang mereka anggap sebagai paradoks aneh atas keberadaan Taiwan. Meski militer China terus tumbuh dan menakut-nakuti, akan tetapi invasi tidak akan terjadi dalam waktu dekat menurut persepsi mereka.
Pasalnya, beberapa ahli percaya sebagian besar persepsi soal ancaman oleh militer AS sebenarnya lebih merupakan cerminan dari pergeseran persepsi AS tentang China. Persepsi itu muncul di tengah hubungan yang memburuk antara dua raksasa ekonomi dunia itu.
“Harapan (Partai Komunis China/PKT) untuk penyatuan dengan Taiwan sangat jelas selama beberapa dekade ini dan (Presiden) Xi Jinping selalu menjelaskan bahwa tidak tertutup kemungkinan penggunaan senjata untuk merebut kembali Taiwan,” kata Eric Lee, peneliti pada Project 2049 Institute of Arlington, Virginia seperti dikutip CNN.com.
Menurutnya, tantangan itu bukanlah hal baru. Sebaliknya, hal itu mencerminkan persepsi ancaman terbaru dari PKT dan PLA dalam konteks persaingan strategis AS dengan China.
Bonnie Glaser, Direktur China Power Project pada Center for Strategic and International Studies (CSIS) setuju dengan pendapat tersebut.
Akan tetapi, penilaian itu, katanya, tidak didasarkan pada intelijen tetapi analisis keseimbangan militer antara AS dan China.
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menghadiri acara makan malam di Kamar Dagang Amerika (AmCham), di Taipei, Taiwan 21 Maret 2018./ Reuters
Taiwan Perkuat Sistem Pertahanan
Dalam perkembangan terakhir, China terus meningkatkan aktivitasnya di sekitar Taiwan sejak Tsai Ing-wen terpilih sebagai presiden pada tahun 2016.
Meski politik Tsai di dalam negeri dipandang sebagian besar mempertahankan status quo dalam hubungan Taiwan yang kompleks dengan China, di luar negeri dia menunjukkan penampilan berbeda.
Dia lebih terlihat mendorong pembangunan identitas Taiwan yang unik yang terpisah dari ikatan historisnya dengan China.
Tidak heran kalau gaya politik dan hubungan dekat pemerintahannya dengan AS telah membuat marah Beijing. Maklum, hingga kini Beijing mengklaim Taiwan sebagai miliknya meskipun tidak pernah memerintah pulau itu.
Sebagai bagian dari upaya Taiwan untuk lebih memainkan peran politik, Tsai berusaha untuk meningkatkan sistem pertahanan dengan meningkatkan anggaran belanja senjata. Selain itu, dia mereformasi pasukan cadangan, serta membeli senjata miliaran dolar dari AS.
Pemerintahannya juga telah menghidupkan kembali manufaktur senjata domestik Taiwan, termasuk kapal selam buatan lokal, kendaraan lapis baja, dan pesawat militer, menurut Kementerian Pertahanan.
"PKT belum menyerah untuk penggunaan kekuatan untuk menyerang Taiwan, dan militer China terus memperkuat kesiapan tempurnya, dan kesiapan untuk meningkatkan penggunaan kekuatan PKT," menurut Kementerian Pertahanan Taiwan dalam sebuah pernyataan kepada Aljazeera.com baru-baru ini.
“Selalu ada risiko merebut Taiwan. Apakah itu serangan mendadak atau invasi skala penuh. Hal itu akan berdampak serius pada kelangsungan hidup dan pembangunan negara,” menurut kementerian itu.
Oleh karena itu, memperkuat operasi pertahanan dan berbagai pembangunan militer adalah tugas inti tentara nasional, menurut kementerian tersebut.
Risiko Besar bagi China
Pada akhir Maret lalu, Kementerian Pertahanan mengatakan serangan ke ADIZ Taiwan telah menjadi begitu sering. Akibatnya, pesawat tempur kedua negara sering berpapasan. Karena itu, Taiwan lebih memilih melacak mereka dengan menggunakan sistem pertahanan rudal.
Kementerian itu menyatakan keputusan tersebut dibuat atas penilaian bahwa menerbangkan pesawat tempur hanya menghabiskan sumber daya dan meningkatkan risiko salah perhitungan atau kecelakaan.
Sementara itu, AS, telah mulai berspekulasi bahwa invasi amfibi oleh PLA akan segera terjadi. Akan tetapi, para ahli mengambil pendekatan yang lebih terukur dan menekankan bahwa invasi ke Taiwan akan membawa risiko yang signifikan bagi China.
Pertama, pasukannya harus melintasi Selat Taiwan sepanjang 180 km (100 mil) dengan lebih dari 100.000 tentara dan pasokan, menurut Michael Tsai, yang menjabat sebagai wakil menteri pertahanan Taiwan dan kemudian menteri pertahanan antara tahun 2004 dan 2008.
Dalam perjalanan, mereka juga akan menghadapi pemboman udara dan laut. Jika mereka berhasil mendarat, perlawanan lokal yang kuat akan muncul.
"Jika Taiwan diserang oleh PLA, lebih dari dua pertiga anak muda akan mengambil tindakan tegas untuk melawan tindakan China," kata mantan menteri pertahanan itu.
Laut China Selatan/military.com
Taiwan adalah negara yang bebas membela haknya dan demokratis. Kami suka hidup berdampingan secara damai dengan China, tetapi jika kami diserang, kami harus bereaksi untuk memperkuat pertahanan.
“Tentu akan sangat menderita. Banyak anak muda akan kehilangan nyawanya, begitu juga dengan PLA," katanya.
Selain itu, akan ada masalah lain yang harus dihadapi, termasuk medan yang menantang, pola cuaca yang tidak dapat diprediksidan bahkan topan badai bisa menyergap.
Bagi pakar dan sejarawan Taiwan, Bill Sharp yang merupakan mantan dosen tamu di Universitas Nasional Taiwan, manuver seperti itu akan lebih sulit daripada “Pendaratan D-Day” saat pasukan Sekutu mendaratkan pasukannya di Normandia, Prancis karena geografi Taiwan.
Perairan yang ganas, dan pola cuaca yang tidak dapat diandalkan menjadi tantangan tersendiri.
Sedangkan serangan rudal, sementara itu, akan menyebabkan hilangnya nyawa manusia yang sangat besar dan kehancuran infrastruktur. Di samping itu, akan perlawanan terhadap kekuatan penyerang mana pun.
Agaknya hal itulah yang membuat China harus berpikir ulang kalau memgambil langkah konfrontatif.
Dengan segala kondisi dan rasionalitas di atas, tidak heran kalau hingga kini masyarakat Taiwan seperti tidak merasa terusik dengan berbagai manuver di wilayah Selat Taiwan itu.
Satu hal yang jelas, China dan AS punya kepentingan yang besar di wilayah strategis itu. Karena itulah, AS perlu menggandeng Jepang sebagai wilayah terdekat dan sama-sama punya kepentingan untuk menekan dominasi China di kawasan tersebut.
Lalu, apakah China benar-benar akan menginvasi Taiwan?
Masih sulit untuk menebak-nebak jawaban atas pertanyaan itu, setidaknya untuk enam tahun ke depan sebagaimana yang dikhawatirkan Philip Davidson.