Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Senior Kwik Kian Gie mengaku masih enggan menyampaikan pendapatnya yang berupa masukan atau kritik terhadap pemerintah di media sosial. Dia khawatir kejadian perundungan siber (cyber bullying) yang terjadi di akun Twitter-nya terulang kembali.
Seperti diketahui akun Twitter Kwik @kiangiekwik sempat diserbu oleh kata-kata kasar atau makian dari akun-akun yang disinyalir sebagai buzzer. Serbuan tersebut terjadi tak lama setelah dirinya berbalas cuitan dengan Yustinus Prastowo, Staf Ahli Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Seragan makin menjadi-jadi setelah Kwik mengungkapkan ketakutannya di salah satu cuitannya. Dalam cuitan tersebut dia juga membandingkan kondisi kebebasan berpendapat pada era kepemimpinan Presiden Soeharto.
“Mereka menyerang dengan kata-kata yang sangat kasar, seperti pak tua bau tanah. Belum lagi masalah pribadi diungkit-ungkit. Ada juga yang bilang kalau saya ada di era Orde Baru sudah dihilangkan. Loh, buktinya saya diberikan kolom khusus di [harian] Kompas dan tidak ada masalah,” katanya kepada Bisnis, belum lama ini.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) itu meyakini bahwa akun-akun yang membuatnya merasa tidak nyaman itu adalah buzzer dibayar oleh pihak tertentu. Selain tak diketahui identitasnya atau anonim, kata-kata yang dilontarkan seperti memiliki kesamaan satu sama lain.
“Bernada sama ingin menjatuhkan, argumennya tidak dengan data atau fakta. Seperti diperintahkan untuk asal menyerang saja. Kemungkinan besar mereka ini dibayar untuk itu,” ujarnya.
Baca Juga
Kisah Kwik merupakan salah satu bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat masyarakat yang dinilai makin mengkhawatirkan. Hal tersebut tercermin dari meningkatnya serangan digital terhadap pihak-pihak yang diketahui berseberangan dengan pemerintah.
Menurut Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression (SAFEnet) Damar Juniarto, peristiwa serupa marak terjadi sejak tahun 2017 dan intensitasnya meningkat pada 2019. Adapun, pada 2020 pihaknya menerima 147 laporan serangan digital, mulai dari cyberbullying, penyebarluasan data pribadi di dunia maya (doxing), hingga peretasan akun.
“Total laporan ada 147 [serangan digital], atau rata-rata [terjadi] 12 kali setiap bulan. Namun, apabila ditelisik lagi distribusinya memuncak pada Juni dan Oktober saat tagar muncul #PapuanLivesMatter dan penolakan [terhadap] Omnibus Law,” katanya kepada Bisnis.
Serangan digital itu dilakukan oleh buzzer atau cyber army yang dipimpin key opinion leader (KOL) untuk menggeruduk siapa saja yang dinilai telah 'melawan' pemerintah.
Hal tersebut merupakan satu dari sekian penanda bahwa Indonesia akan mempraktikkan otoritarianisme digital. SAFEnet menyatakan Indonesia saat ini telah mencapai status 'siaga dua' otoritarianisme digital.
Lebih lanjut, menurut Damar wajah otoritarianisme digital di Indonesia juga terlihat dari adanya praktik pembatasan akses internet dan ponsel, pengawasan dunia maya yang kini didukung oleh kehadiran polisi siber, serta sensor daring (online censorship).
“Keluarnya telegram Kapolri mengenai larangan media tampilkan kekerasan aparat juga memperkuat adanya hal tersebut. Walaupun akhirnya ditarik kembali. Tetapi terlihat bahwa pemerintah berupaya mengatur semuanya, termasuk pers yang jadi salah satu pilar demokrasi,” tuturnya.
Praktik otoritarianisme digital yang dilakukan oleh pemerintah sempat disorot oleh Pemerintah Amerika Serikat lewat laporan tahunan mengenai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di setiap negara di dunia sepanjang 2020.
Beberapa praktik yang disebutkan dalam laporan tersebut antara lain pembatasan akses komunikasi, pemblokiran diskusi daring, hingga peretasan akun media sosial milik sejumlah aktivis. Dalam laporan setebal 38 halaman itu juga disinggung serangan terhadap setidaknya empat media setelah merilis publikasi yang berisi kritikan terhadap penanganan pandemi Covid-19 oleh pemerintah.
Apa yang diungkapkan oleh Damar dan Gedung Putih lewat laporannya diamini oleh Peneliti Amnesty International Indonesia Ari Pramuditya. Dia menilai ruang untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia makin menyempit pada 2020.
"Tahun 2020 telah terjadi banyak sekali intimidasi digital yang dilakukan kepada mahasiswa, akademisi, jurnalis, dan aktivis yang mengkritik pemerintah atau mengangkat isu-isu politik yang sensitif seperti pelanggaran HAM di Papua," katanya.
Menurut Ari, pihaknya mencatat setidaknya ada 66 kasus serangan dan intimidasi digital yang dialami oleh 86 korban. Kasus tersebut tak terlepas dari penerapan sewenang-wenang pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Ancaman kebebasan berekspresi tidak hanya terkait [pandemi] Covid-19 saja, tetapi juga kebijakan pemerintah yang mengatasnamakan pembangunan ekonomi misalnya yang paling menonjol adalah pembahasan mengenai UU Cipta Kerja atau Omnibus Law” ungkapnya.
Sebelumnya, Tenaga Ahli Utama KSP Donny Gahral Adian menegaskan bahwa pemerintah tidak anti terhadap kritik. Pemerintah menerima dengan baik kritik tersebut asalkan berbasis data, fakta, dan argumentasi yang kuat.
Namun, dia tak menampik bahwa dinamika demokrasi memungkinkan terjadinya respon dari perorangan atau kelompok tertentu, tak terkecuali pelaporan terhadap pengkritik ke pihak berwenang.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi juga sempat mengeluarkan pernyataan yang meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam memberi masukan dan kritik pada pemerintah. Pasalnya, kritik tersebut adalah bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik.