Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Myanmar yang digulingkan, Win Myint, menghadapi dua dakwaan baru, termasuk pelanggaran konstitusi yang dapat dihukum hingga tiga tahun penjara.
Win Myint ditangkap pada 1 Februari bersama pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi hanya beberapa jam sebelum militer merebut kekuasaan dalam sebuah kudeta militer. Win Myint juga menghadapi dakwaan karena melanggar protokol untuk menghentikan penyebaran Virus Corona.
Sedangkan, pengacaranya Khin Maung Zaw, mengatakan bahwa tanggal persidangan Win Myint belum diketahui.
Pemerintah militer juga telah mendakwa Aung San Suu Kyi dengan beberapa pelanggaran yang menurut para kritikus dibuat-buat hanya untuk membuatnya tetap dipenjara. Hukuman itu berpotensi mencegahnya berpartisipasi dalam pemilihan umum yang dijanjikan dalam waktu satu tahun oleh militer.
Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, salah satu pemimpin negara anggota Asean, mengatakan kudeta adalah "langkah mundur yang sangat tragis" bagi Myanmar, dan penangkapan serta tuntutan terhadap Aung San Suu Kyi, serta banyak dari pimpinan partainya tidak akan menyelesaikan masalah.
"Anda benar-benar harus kembali, membebaskan Aung San Suu Kyi, bernegosiasi dengan dia dan timnya, dan mencari jalan damai ke depan untuk Myanmar," katanya dalam rekaman wawancara seperti dikutip ChannelNewsASia.com, Rabu (3/3/2021).
Sementara itu, Duta Besar Myanmar yang dipecat dan pemerintah junta militer kini tengah bersaing memperebutkan kursi perwakilan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Duta Besar Myanmar Kyaw Moe Tun menulis surat kepada Presiden Majelis Umum PBB Volkan Bozkir, dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken yang menyatakan dia masih sah menjadi Duta Besar Myanmar untuk PBB.
"Pelaku kudeta terhadap Pemerintah Myanmar tidak berwenang untuk mengambil alih kekuasaan presiden negara saya," menurut isi surat Tun.
Junta militer Myanmar menyatakan, memecat Tun karena, dinilai berkhianat setelah menyampaikan pidato di hadapan Majelis Umum PBB yang menyatakan dia mendukung pemerintahan Presiden Win Myint dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi.
Saat itu, Tun juga mendukung gerakan rakyat yang menentang kudeta dan menuntut pemerintahan demokratis.