Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom senior Faisal Basri menilai saat ini hampir mustahil untuk menemukan sosok pejabat sesederhana Artidjo Alkostar, eks Hakim Agung yang tutup usia, Minggu (28/2/2021).
Hal itu diungkapkan Faisal Basri melalui sebuah obituari bertajuk Artidjo Alkostar: Kisah Teladan yang Tak Ada Duanya di blog pribadinya, faisalbasri.com, Minggu (28/2/2021).
Faisal Basri mengaku dua tahun lalu menerbitkan buku berjudul Kisah-kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa bersama Haris Munandar dan berisi kisah 23 tokoh bangsa, termasuk Artidjo Alkostar.
"Sungguh hampir mustahil menemukan sosok pajabat tinggi sesederhana beliau. Kalimat terakhir kami dalam buku itu: 'Panjang umur, Pak Hakim.' Ternyata Sang Khalik telah memanggilnya hari ini. Semoga amal bakti almarhum membawanya ke surga dan suri teladannya senantiasa menyinari perjalanan Bangsa ini," tulisnya dalam blog tersebut.
Faisal Basri menjelaskan eks Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung itu memasuki masa pensiun pada 22 Mei 2018 lalu, ketika beliau berusia 70 tahun.
Dalam karirnya sebagai hakim agung sejak tahun 2000, Artidjo telah memutus 19.708 berkas perkara dan banyak di antaranya kasus korupsi yang mengundang perhatian nasional. Pasalnya, dia menjatuhkan hukuman maksimal tanpa keraguan.
Baca Juga
"Ia pun menyandang predikat 'malaikat maut'. Benteng kuat keadilan di Indonesia ini sudah pensiun. Sampai sekarang belum terlihat ada lagi 'hakim gila' seperti Artidjo yang bisa menjadi tumpuan harapan bangsa bagi tegaknya hukum secara tegas," jelas Faisal Basri.
Menurut Faisal, salah satu kasus besar yang pernah Artidjo tangani adalah Kasus Pembantaian di Santa Cruz, Dili, Timor Leste, 1992. Dalam penanganan perkara itu, dia dikabarkan hampir kehilangan nyawa selama berada di Dili.
Kendati demikian, Faisal Basri menilai Artidjo tetap menjadi pejabat yang sederhana. Dia mengatakan kekayaan Artidjo ketika menjadi hakim agung tidak mencolok meski pernah memiliki kantor pengacara di Yogyakarta
Apalagi, jelas Faisal Basri, Artidjo sering tidak tega menarik bayaran dari kliennya yang tidak mampu.
"Kalau dihitung-hitung, penghasilan dari kantornya — setelah untuk membayar gaji tim pengacaranya dan membeli buku — tinggal pas-pasan. Hartanya cuma sebuah rumah kecil di Jogja. Sebagian besar penghasilan Artidjo habis untuk membeli buku, terutama literatur asing."
Faisal Basri mengatakan Artidjo juga menghadapi berbagai godaan kala menjalani profesi sebagai pengacara. Menurutnya, pernah ada tawaran uang sogok dari pihak lawan agar Artidjo tidak bersungguh-sungguh membela kliennya di persidangan.
Namun, tawaran itu ditolak karena Artidjo tidak mau menghianati hati nuraninya dan kliennya. "Karena merasa tidak pernah menyogok hakim atau jaksa, Artidjo berani mengajukan protes pada hakim atau jaksa jika ia melihat ada yang tidak beres dalam persidangan. Itu pula sebabnya sebagai pengacara ia lebih sering kalah, sama seperti Yap Thiam Hien."