Bisnis.com, JAKARTA - Bisnis.com, JAKARTA - Konflik tanah ulayat masih menjadi persoalan pelik di tengah gempuran para mafia tanah yang terus mengobral tanah kepada para investor.
Hal ini diungkapkan oleh sejumlah pemerhati, pakar dan tokoh adat dalam diskusi mingguan Rumah Kebudayaan Nusantara (RKN) bertajuk "Konfilik Tanah Ulayat: Reforma Agraria dan Quo vadis Hukum Adat" di Jakarta, Sabtu (30/1/2021).
RKN merupakan sebuah lembaga di Jakarta yang fokus pada advokasi hak-hak masyarakat kecil.
Pakar hukum agraria dari Universiatas Kristen Indonesia (UKI), Aartje Tehupeiory, mengatakan masyarakat adat selalu menjadi korban dalam persoalan tanah ulayat.
Padahal, Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
"Sekarang pertanyaannya, kalau undang-undang sudah mengatur sedemikian jelas tapi masih terjadi konflik," kata Aartje dalam keterangan resmi RKN.
Menurutnya, akar konflik pertanahan secara umum adalah tumpang tindih peraturan, regulasi kurang memadai, tumpang tindih peradilan, penyelesaian dan birokrasi yang berbelit-belit, nilai ekonomis tinggi, kesadaran masyarakat meningkat, tanah tetap sedangkan penduduk bertambah, dan kemiskinan, dan lain-lain.
"Eksistensi penggunaan hukum adat dan kearifan lokal mengalami tekanan di tengah intervensi hukum nasional, terutama perubahan peruntukan untuk kegiatan perkebunan dan pertambangan dengan label penguasaan negara berhadapan dengan penguasa n adat," jelasnya.
Sementara itu, Ketua Presidium Kongres Rakyat Flores (KRF), Petrus Selestinus mengatakan konflik tanah ulayat masih sering terjadi di NTT dan Sumatera.
Di Flores, kasus misalnya terkait lahan suku Paumere di Nangapanda, Kabupaten Ende yang diklaim milik institusi TNI; kasus penguasaan lahan Sepang-Nggieng di Labuan Bajo; dan konflik lahan Desa Pubabu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Menurutnya, konfik lahan terjadi karena masuknya pemilik modal dan mafia besar untuk kepentingan bisnis dan lain sebagainnya.
"Kehadiran mereka memunculkan persoalan. Dengan kekuatan modal, pengusaha dan mafia besar bisa beli semua, mereka acak-acak semua," jelasnya dalam diskusi RKN.
Petrus yang juga advokat Peradi ini mengatakan, dari segi regulasi yang diatur dalam UUD 1945, UU Agraria, peraturan pemerintah dan lain sebagainya, ditekankan perlindungan negara atas tanah ulayat dan masyarakat adat.
"Tapi dalam prakteknya banyak penggusuran atas nama kepentingan nama lapangan kerja dan pembangunan. Masyarakat yang jadi korban. Tidak ada perlindungan negara," jelasnya.
Anggota Komisi IV dari fraksi PDI Perjuangan, Yohanis Fransiskus Lema mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terkait UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pengganti UU No 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan harusnya menjadi langkah baru bagi negara untuk memperhatikan masyarakat adat.
Namun faktannya, kata pria yang akrab disapa Ansy Lema ini, kerap kali hak masyarakat adat dicaplok atas nama pembangunan.
"Ini membuat masyarakat adat dengan hak-haknya mengalami proses marjinalisasi," ujar Ansy.
Menurut Ansy, Komisi IV DPR dalam rapat bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI pada 2020 lalu, sudah meminta untuk mengakomodir hak masyarakat adat dalam aturan turunan seperti peraturan daerah dan peraturan menteri.
"Nah, ini yang kita lihat belum terjadi. Karena konflik horizontal yang kerap melibatkan masyarakat adat dengan korporasi, masyarakat adat berhadapan dengan negara terjadi karena memang kelihatannya dari sisi regulasi pada tingkat daerah maupun penegakan hukum pada tingkat lokal itu masih jalan setengah hati," jelasnya.