Bisnis.com, JAKARTA - Arief Budiman harus menghadapi kenyataan pahit karena Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhi sanksi berupa pemberhentian dirinya dari jabatan sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sanksi itu dijatuhkan majelis DKPP pada Rabu (13/1/2021) lalu. Selain diberhentikan jadi ketua, Arief juga mendapat sanksi peringatan keras terakhir.
Kasus Arief ini bermula dari aduan seseorang bernama Jupri pada semester II 2020 lalu. Dalam aduannya Arief diduga melakukan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KEPP) perkara nomor 123-PKE-DKPP/X/2020. DKPP pun memeriksa Arief Budiman pada November 2020.
Disebutkan dalam dalil aduan, Arief diduga mendampingi Anggota KPU RI nonaktif, Evi Novida Ginting Manik yang telah diberhentikan DKPP pada 18 Maret 2020 untuk mendaftarkan gugatan ke PTUN Jakarta.
Pendampingan itu dilakukan pada 17 April 2020, atau hampir sebulan setelah DKPP menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tetap kepada Evi.
Dalam Aduannya, Jupri juga menyebut bahwa Arief telah membuat keputusan yang diduga melampaui kewenangannya yakni menerbitkan surat KPU RI Nomor 665/SDM.13.SD/05/KPU/VIII/2020 tanggal 18 Agustus 2020.
Baca Juga
Jupri menyebut bahwa keputusan yang dibuat oleh Ketua KPU RI untuk mengaktifkan kembali Evi Novida Ginting Manik adalah langkah yang tidak dapat dibenarkan menurut Undang-Undang Pemilu.
Arief juga dinilai telah melanggar Pasal 11, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 19 Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.
Pembelaan Ketua KPU
Menanggapi aduan Jupri, Arief membantahnya. Menurutnya, kehadirannya di PTUN Jakarta pada 17 April 2020 bukan dalam rangka mendampingi Sdri. Evi Novida Ginting untuk mendaftarkan gugatan.
Dia berdalih hanya memberikan dukungan moril kepada Evi sebagai sesama kolega yang sudah bekerja sama selama beberapa tahun sebagai pimpinan KPU RI. Dukungan moril itu, kata Arief, didasarkan pada rasa kemanusiaan.
“Teradu datang hanya untuk memberikan dukungan moril dan sebagai rasa simpati dan empati kepada yang bersangkutan, dan tidak ada sedikitpun maksud dari Teradu untuk menyalahgunakan tugas, jabatan dan kewenangan Teradu dengan kehadiran Teradu di Pengadilan TUN Jakarta,” jelas Arief seperti dikutip dari laman resmi DKPP.
Terkait dalil tentang KPU RI Nomor 665/SDM.13.SD/05/KPU/VIII/2020 tanggal 18 Agustus 2020, Arief mengaku bahwa surat tersebut bukan merupakan keputusan untuk mengaktifkan kembali Evi Novida Ginting Manik sebagai anggota KPU RI Periode 2017 - 2020.
Dia berujar diaktifkannya kembali Evi sebagai anggota KPU RI Periode 2017-2020 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 83/P Tahun 2020 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor: 34/P Tahun 2020 tanggal 11 Agustus 2020.
Pada kesempatan berbeda, Arief menegaskan bahwa dirinya tidak pernah melakukan pelanggaran dan kejahatan yang mencederai integritas pemilu. Hal itu disampaikan untuk menanggapi putusan DKPP terkait pemberhentian dirinya sebagai Ketua KPU.
"Saya tidak pernah melakukan pelanggaran dan kejahatan yang mencederai integritas pemilu," kata Arief Budiman di Jakarta, Rabu (13/1/2021).
Putusan DKPP
Selang 2 bulan setelah pemeriksaan pertama, DKPP pun akhirnya mengeluarkan keputusan terkait perkara ini. Sebagaimana diketahui, Arief dinyatakan melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu.
"Menjatuhkan sanksi Peringatan Keras Terakhir dan Pemberhentian Dari Jabatan Ketua KPU RI kepada Teradu Arief Budiman selaku Ketua KPU RI sejak putusan ini dibacakan,” kata Ketua Majelis, Muhammad dikutip dari laman resmi DKPP.
Dalam pertimbangan majelis, disebutkan bahwa DKPP sangat memahami ikatan emosional Arief dengan Evi Novida Ginting Manik yang merintis karir sebagai penyelenggara pemilu dari bawah hingga menjadi komisioner di KPU RI untuk periode 2017 - 2022.
Majelis juga menilai kehadiran Arief di ruang publik mendampingi Evi Novida Ginting Manik dalam memperjuangkan hak-haknya membuat KPU RI terkesan menjadi pendukung utama dalam melakukan perlawanan terhadap putusan DKPP.
Sikap dan tindakan Arief dinilai menunjukan tidak adanya penghormatan terhadap tugas dan wewenang antar institusi penyelenggara pemilu. Arief juga dinilai menunjukkan tindakan penyalahgunaan wewenang secara tidak langsung karena jabatan senantiasa melekat pada setiap perbuatan Teradu di ruang publik.
“Teradu melanggar Pasal 14 huruf c jo Pasal 15 huruf a dan d jo Pasal 19 huruf c dan e Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu,” ujar Anggota DKPP Didik Supriyanto.
Selain itu, Arief juga dinilai melakukan tindakan tanpa dasar hukum dengan meminta Evi Novida Ginting Manik kembali aktif melaksanakan tugasnya sebagai Anggota KPU RI melalui Surat Nomor 663/SDM.12-SD/05/KPU/VIII/2020. Surat tersebut dikeluarkan Arief mengacu pada Surat Kementerian Sekretariat Negara RI Nomor B.210.
Kementerian Sekretariat Negara RI meminta Arief menyampaikan petikan Keputusan Presiden (No 83/P Tahun 2020) yang mencabut putusan sebelumnya (No 34/P Tahun 2020) untuk disampaikan kepada Evi Novida Ginting Manik. Dalam surat tersebut tidak ada frase atau ketentuan yang memerintahkan Teradu mengangkat dan mengaktifkan kembali Evi Novida Ginting Manik sebagai Anggota KPU RI.
“Tindakan Teradu merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang, baik dalam kategori melampaui kewenangan di luar ketentuan hukum baik kategori mencampuradukan kewenangan di luar materi kewenangan,” ujar Didik.
Anggota DKPP Ida Budhiati menjelaskan Arief sama sekali tidak memiliki dasar hukum maupun etik memerintahkan Evi Novida Ginting Manik aktif kembali sebagai Anggota KPU RI menurut hukum dan etika. Pasalnya, Evi Novida Ginting dinilai tidak lagi memenuhi syarat sebagai penyelenggara pemilu setelah diberhentikan berdasarkan Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019.
Bahwa pengaktifan kembali menurut Arief dibuat atas dasar keputusan bersama secara collective collegial. Namun, pernyataan tersebut tidak didukung dengan alat bukti yang cukup berupa dokumen Berita Acara Rapat Pleno atau alat bukti lainnya, sehingga keputusan tersebut menurut DKPP merupakan tindakan sepihak tanpa melibatkan atau sepengetahuan anggota lainnya.
“Berdasarkan hal tersebut Teradu telah terbukti melanggar Pasal 11 huruf a dan huruf b juncto Pasal 15 huruf a, huruf c, huruf d dan huruf f juncto Pasal 19 huruf c, huruf e dan huruf d, Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu,” ujar Ida.
Dissenting Opinion
Dalam memutus perkara ini terdapat perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari Anggota Majelis DKPP, Pramono Ubaid Tanthowi. Menurut dia, bahwa Arief membubuhkan tanda tangan dalam surat 663/SDM.12-SD/05/KPU/VIII/2020 dalam kapasitasnya sebagai Ketua KPU RI bukan atas nama pribadi.
Pramono juga menilai tindakan Arief Budiman membubuhkan tanda tangan pada surat 663 tidak termasuk pelanggaran berat yang menciderai integritas proses atau integritas hasil-hasil pemilu atau pilkada Teradu tidak memiliki niat jahat untuk memanipulasi proses atau hasil pemilu atau pilkada.
Sidang ini dipimpin oleh Ketua DKPP yang bertindak sebagai Ketua Majelis, Prof. Muhammad yang didampingi Anggota DKPP sebagai Anggota Majelis, yaitu Dr. Alfitra Salamm, Prof. Teguh Prasetyo, Didik Supriyanto, S.IP., M.IP., Dr. Ida Budhiati, dan Pramono Ubaid Tanthowi.
Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan mempelajari putusan DKPP terkait pemberhentian Arief Budiman dari jabatannya sebagai Ketua KPU.
Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin meminta seluruh pihak untuk tidak berspekulasi atas putusan DKPP yang memecat Arief Budiman dari jabatannya sebagai Ketua KPU.
"DPR akan mempelajari terlebih dahulu, kita dengar penjelasan DKPP terkait duduk permasalahannya dengan transparan," kata Azis Syamsuddin dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (13/1/2021).
Menurutnya, jangan sampai beban kerja KPU dapat terganggu dan terhambat akibat putusan tersebut, terlebih KPU baru saja melaksanakan Pilkada Serentak 2020 dan perlu melakukan evaluasi.
Azis meminta para penyelenggara pemilu dapat menjadikan sebuah pembelajaran dan evaluasi dari permasalahan tersebut sehingga dapat menciptakan pelaksanaan "pesta demokrasi" yang semakin baik dan meningkatkan kualitas demokrasi.
"Hal ini jangan sampai terulang, permasalahan ini berawal dari perselisihan suara pasangan calon di Kalimantan Barat yang berimbas ke MK dan akhirnya berujung di KPU RI. Kalau ada suara yang hilang atau penggelembungan, berarti ada yang salah dalam pelaksanaannya," ujarnya.