Bisnis.com, JAKARTA - Tewasnya lima orang dalam tragedi gedung Capitol, Washington, menjadi perhatian sejumlah ahli yang khawatir terhadap pelantikan Presiden AS Joe Biden 20 Januari mendatang.
"Obrolan dari supremasi kulit putih ini, dari ekstremis sayap kanan ini - mereka merasa berani saat ini. Kami yakin sekali kekerasan ini bakal lebih buruk sebelum bisa ditangani," kata Jonathan Greenblatt, CEO Liga Anti-Pencemaran Nama Baik seperti dikutip dari CNN International, Sabtu (9/1/2021).
Kerusuhan pada (6/1/2021) meletus sebagai protes untuk menghalangi Kongres mengesahkan hasil kemenangan Biden. Hal ini memperlihatkan kehilangan kendali Trump, pendukungnya, dan pemimpin Republik.
Seorang peneliti senior di University of Toronto yang banyak melakukan mengawasi keamanan siber, John Scott-Railton mengatakan dia sangat prihatin terkait dengan pelantikan Biden.
"Sementara publik terkejut dengan apa yang terjadi di Capitol, di sudut-sudut tertentu dari jenis percakapan sayap kanan... dipandang sebagai sebuah kesuksesan," katanya.
Advance Democracy, Inc., pemerhati pemerintah non partisan mendapati ada 1.480 unggahan dari akun yang berhubungan dengan QAnon (teori konspirasi ekstrimis sayap kanan) mereferensikan kekerasan yang terjadi. Sejumlah unggahan mereferensikan peperangan, termasuk pernyataan “perang dimulai hari ini.”
Baca Juga
Sementara itu, Bloomberg melaporkan bahwa setiap langkah Presiden Donald Trump di hari-hari terakhirnya di kantor dapat menjadi bumerang, kata para ahli hukum, sebuah tantangan untuk mengajukan tuntutan pidana terhadap Trump.
Trump dinilai menghasut pengepungan Capitol AS yang mengakibatkan lima kematian dan mengirim anggota Kongres berebut untuk keselamatan.
Namun, meskipun presiden memiliki otoritas yang luas untuk memberikan grasi kepada orang lain, pengampunan diri akan menjadi pernyataan baru tentang kekuasaan eksekutif yang mungkin diinginkan oleh Partai Demokrat dan Republikan dari Mahkamah Agung.
"Kejadian ini bakal menempatkan dirinya sebagai bebek duduk untuk dituntut," kata Nick Akerman, mantan jaksa skandal Watergate. “Ini menghilangkan gagasan bahwa Anda mengejar seseorang hanya karena mereka adalah lawan politik dalam pemerintahan sebelumnya.”