Bisnis.com, JAKARTA - China mengumumkan ratifikasi perjanjian ekstradisi dengan Turki dengan tujuan antara lain untuk mempercepat pemulangan pengungsi tertentu dan Muslim Uighur yang dicurigai melakukan 'aksi terorisme'.
Meskipun parlemen Turki belum meratifikasi perjanjian bilateral yang ditandatangani pada 2017, kabar itu telah menimbulkan kekhawatiran di antara diaspora Uighur yang diperkirakan berjumlah 50.000 orang di Turki.
Turki memiliki ikatan bahasa dan budaya dengan orang Uighur. Ankara telah lama menjadi salah satu pembela utama perjuangan mereka di panggung internasional meskipun belakangan ini dukungan publik Turki telah memudar.
Di wilayah Xinjiang, China telah memulai kebijakan pengawasan maksimum terhadap warga Uighur setelah banyak serangan mematikan terhadap warga sipil. Beijing menyalahkan serangan itu berasal dari kelompok separatis Uighur dan gerakan Islamis.
Menurut para ahli asing, otoritas China telah menahan setidaknya satu juta orang, termasuk etnis Uighur di sejumlah kamp. Beijing telah menolak tuduhan dari negara Barat dengan mengatakan bahwa mereka adalah 'pusat pelatihan kejuruan' yang dimaksudkan untuk membantu melatih kembali penduduk untuk mendapatkan pekerjaan dan dengan demikian menjauh dari ekstremisme.
Beberapa orang Uighur yang diyakini menjadi korban penganiayaan telah melarikan diri ke Turki. "Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional telah meratifikasi perjanjian ekstradisi China-Turki," demikian menurut parlemen China dalam sebuah pernyataan singkat di situsnya seperti dikutip Aljazeera.com, Selasa (29/12/2020).
Baca Juga
Kendati begitu, ekstradisi dapat dilakukan dengan beberapa alasan. Misalnya terkait dengan 'kejahatan politik' jika orang yang bersangkutan adalah salah satu warga negara yang mengajukan permohonan.
"Perjanjian ekstradisi ini akan menimbulkan kekhawatiran di antara warga Uighur yang telah melarikan diri dari China dan belum memiliki kewarganegaraan Turki," kata Dilxat Raxit, juru bicara Kongres Dunia Uighur, sebuah organisasi pengasingan yang berbasis di Jerman.
Dia curiga Beijing memberikan tekanan ekonomi kepada Turki untuk meratifikasi perjanjian itu. "Kami menyerukan kepada pemerintah Turki untuk mencegah perjanjian ini tidak menjadi alat penganiayaan," katanya.
Di sisi lain, Turki juga secara diam-diam sering mengusir orang Uighur ke China sehingga memicu kemarahan publik.
Turki adalah satu-satunya negara dengan mayoritas penduduk Muslim yang sejauh ini secara terbuka mengecam perlakuan terhadap Uighur. Menteri Luar Negeri Turki pada awal 2019 menggambarkannya sebagai 'aib bagi kemanusiaan'.