Bisnis.com¸ JAKARTA – Sikap Rizieq Shihab yang menolak mengungkapkan hasil swab test dirinya ke publik mendapat tanggapan dari Gugus Tugas Covid-19.
Sebelumnya, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab atau dikenal dengan Habib Rizieq Shihab (HRS) menuliskan surat pernyataan yang berisikan penegasan dirinya menolak membuka informasi mengenai hasil pemeriksaan medis dirinya.
Surat tersebut juga viral di media sosial dan telah dibenarkan oleh Sekretaris Bantuan Hukum DPP Front Pembela Islam (FPI) Aziz Yanuar.
"Beliau keberatan [hasil swab test-nya dibuka ke umum]," ujar Aziz.
Ia mengatakan Rizieq memiliki hak menyimpan informasi rekam medisnya, sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749A/Menkes/Per/XII/1989 Tahun 1989 tentang Rekam Medik/Medical Records.
Pasal 11 Permenkes 1989 tersebut menyatakan bahwa rekam medik merupakan berkas yang wajib dijaga kerahasiaannya.
Baca Juga
Menanggapi hal ini, Tenaga Ahli Ketua Gugus Tugas Covid-19 sekaligus Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia, M. Nasser, mengatakan bahwa pengungkapan rahasia medis diperbolehkan apabila didasarkan pada kepentingan umum.
Ketentuan ini salah satunya berdasarkan Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 57 ayat (2) UU ini menyatakan bahwa ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi tidak berlaku jika menyangkut kepentingan masyarakat luas, khususnya dalam kondisi pandemi Covid-19.
“Jadi rahasia medik seseorang dapat dibuka bila berhadapan dengan kepentingan kesehatan publik. Sementara itu menyembunyikan identitas pasien infeksi wabah Covid hanyalah akan mendukung penyebaran rasa takut pada masyarakat,” ungkap M. Nasser dalam paparannya yang diterima Bisnis, Minggu (29/11/2020).
Dia menjelaskan, Pasal 57 UU No.36/2009 tersebut, serta tiga UU lain termasuk UU No.29/2004 pasal 48 tentang praktek kedokteran, Pasal 38 UU No.44/2009 tentang Rumah Sakit, dan pasal 73 UU NO.36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, bersifat Lex Specialis.
Dengan adanya empat undang-undang lex specialis ini, maka dengan azaz hukum Lex specialis derogate lex generalis dapat mengabaikan pasal 322 KUHP tentang kewajiban menyimpan rahasia.
“Sementara itu peraturan perundangan yang dibawahnya seperti Permenkes tidak dibahas karena selalu tunduk dan tidak bertentangan normanya dengan norma undang-undang,” ujarnya.
Berdasarkan ketentuan ini, M.Nasser mengatakan Pemerintah dalam hal ini Walikota atau Kaporles selaku Gugus Tugas setempat bisa meminta rumah sakit atau siapa saja yang menyimpan rahasia kesehatan itu membukanya kepada pemerintah.
Pihak rumah sakit tidak berada dalam posisi untuk menyimpan rahasia pasien apabila diminta untuk dibuka sesuai pasal-pasal UU di atas. Pemerintah juga berkewajiban untuk menyimpan rahasia ini dan tidak membukanya ke publik kecuali hanya untuk kepentingan pembuatan kebijakan pemerintah.
“Upaya pemerintah untuk meminta rumah sakit membuka rahasia medik yang didasar kan pada kepentingan umum adalah upaya yang mengikat dan berkekuatan hukum,” pungkasnya.