Bisnis.com, JAKARTA -- Bung Hatta pernah berpesan, “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun, jujur sulit diperbaiki.” Bung Hatta sangat berpegang pada kejujuran, hingga seluruh tabungannya pun tidak cukup untuk membeli sepatu Bally yang ia inginkan.
Baginya nama baik dan respek lebih penting daripada kekayaan hasil korupsi. “Jangan mengharapkan bangsa lain respek terhadap bangsa ini, bila kita sendiri gemar memperdaya sesama saudara sebangsa, merusak dan mencuri kekayaan ibu pertiwi.”
Apa yang disampaikan Bung Hatta penting untuk kita jadikan renungan. Kejujuran merupakan kebutuhan penting saat ini, bukan untuk ditepuktangani, melainkan untuk penyelamatan jiwa anak bangsa. Erosi kejujuran telah mendera bangsa ini. Jujur menjadi makin langka. Bahkan orang sudah tidak takut berbohong dan tidak malu terhadap pandangan orang lain.
Apabila virus ketidakjujuran sudah meluas dan menyebar ke golongan lapisan bawah, mimpi rakyat untuk menjadi sejahtera tidak akan pernah tercapai. Perilaku korupsi adalah salah satu cermin ketidakjujuran yang kian merebak di negara ini. Korupsi telah menjadi problem serius yang dihadapi bangsa Indonesia dari waktu ke waktu.
Hingga tulisan ini dibuat, KPK sedikitnya telah menahan empat kepala daerah.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pada awal Mei lalu menyebutkan bahwa indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia saat ini di angka 40 dari skala 0—100. Ia menyebut angka itu masih jauh dibanding IPK dua negara tetangga, Malaysia dan Singapura yang rata-rata 90-an.
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia, LSI (Bisnis.com, 3 November) juga mencatat sebanyak 39,9% warga Indonesia menilai ada peningkatan korupsi dalam dua tahun terakhir. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan korupsi dapat mengantarkan Indonesia menjadi negara gagal apabila tidak segera ditangani dengan maksimal.
Upaya pemberantasan korupsi memang tengah berjalan tetapi fakta empirik menunjukkan bahwa langkah tersebut dinilai belum efektif. Apalagi tindak pidana korupsi itu sendiri kebanyakan berdimensi politik. Permasalahan yang muncul adalah masyarakat telah dan sudah menganggap korupsi sebagai sesuatu yang wajar dan biasa. Hampir semua alat pemerintah dan ruang pemerintahan mengalami persoalan korupsi, baik itu dari staf terendah hingga petinggi sekali pun.
Dalam kasus tersebut, tentu pejabat negara dan masyarakat sipil terlibat bersama-sama melakukan tindak korupsi. Sementara itu, masyarakat sipil yang lain, baik hanya mengetahui atau melihat langsung, seolah hanya diam dan menganggap hal tersebut wajar adanya. Di sinilah titik di mana korupsi menjadi suatu hal biasa dan menjadi kebiasaan dalam masyarakat Indonesia, sehingga korupsi seolah-olah menjadi bagian dari budaya yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Orang pun akhirnya menoleransi praktik korupsi.
Korupsi harus dipandang sebagai kejahatan luar biasa yang memerlukan upaya luar biasa pula untuk memberantasnya. Pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak dapat hanya dilakukan melalui pendekatan hukum, tetapi juga pendekatan kebudayaan. Banyak ahli, seperti Ignas Kleden, dalam berbagai kesempatan memperingatkan pentingnya kebudayaan untuk mencegah tingkah laku negatif dan menangkal godaan perilaku korupsi. Namun, terkadang pandangan tersebut dianggap estetis dan romantis belaka.
Sesungguhnya Indonesia memiliki kearifan lokal yang dapat dijadikan sumber pembentukan karakter bangsa. Secara konseptual, kearifan lokal merupakan bagian dari budaya, unsur budaya tradisional yang berakar dari kehidupan masyarakat untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Penanaman karakter tersebut tentunya harus dimulai sejak usia dini. Untuk itu, sekolah dan perguruan tinggi harus membangun kurikulum yang memberikan pembelajaran tentang perilaku antikorupsi dan membangun pola pendidikan yang mengakar pada nilai kearifan lokal.
Tanpa kita sadari era globalisasi dan digitalisasi telah menggerus nilai-nilai budaya bangsa. Dunia pendidikan pun cenderung makin pragmatis dan materialis. Kearifan lokal kini tergambar dalam simbol fisik semata. Kalau kita melihat bangsa-bangsa lain yang maju seperti Jepang, Korea Selatan, China serta lainnya, mereka berpijak pada tradisi dan kearifan lokal yang berkembang di daerahnya. Masyarakat Jepang misalnya, mereka memiliki semangat Bushido. Semangat ini melahirkan perilaku rajin, jujur, hemat, taat kepada pimpinan dan orang tua, serta berani.
Indonesia semestinya juga harus mengimplementasikan kearifan lokal secara optimal. Penanaman dan revitalisasi nilai kearifan lokal untuk mencegah korupsi dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti dongeng/cerita rakyat, pepatah, wewarah, pantun, dan norma. Dalam adat Minangkabau misalnya, terdapat pepatah yang bermakna sekali orang berbuat tidak jujur seperti berbohong, mencuri, atau melakukan perbuatan lainnya yang tidak jujur, maka sebagai hukum sosialnya seumur hidup dia tidak akan dipercayai orang.
Dalam pitutur luhur atau petuah Jawa pun ada ungkapan kaya tanpa harta. Dalam konteks ini, setiap orang seharusnya mampu untuk berbuat kebaikan kepada orang lain dengan tidak melakukan perbuatan yang koruptif. Masyarakat Suku Kajang yang dikenal sebagai suku tertua di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan bahkan memiliki ritual unik yang terbilang mengerikan dan hingga saat ini warisan leluhurnya tersebut masih terjaga. Salah satunya ritual memegang linggis yang telah dibakar hingga berwarna merah membara sebagai wadah mengetes kejujuran masyarakatnya.
Kearifan lokal seharusnya terimplementasikan dalam diri manusia Indonesia secara substansial, karena nilai pada hakikatnya bukan untuk disimpan, melainkan harus diwujudkan melalui perangai.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Jumat (27/11/2020)