Bisnis.com, JAKARTA – Boikot adalah sebuah tindakan politik, ekonomi, dan sosial yang sudah diterima luas di seluruh dunia.
Semua orang sekarang menggunakan istilah itu tanpa merasa perlu mempertanyakan lagi asal mulanya. Padahal kata itu bermula dari satu tindakan sederhana.
Alkisah, adalah seorang bernama Charles Cunningham Boycott yang berpangkat kapten. Pria ini merupakan kaki tangan Lord Erne, tuan tanah guntai (absentee landlord) di county (kecamatan) Mayo, bagian barat daratan Irlandia yang dikuasai Inggris. Sosok yang sangat tidak disukai warga setempat.
Pada 23 September 1880, ‘seperti sebuah kehendak yang tak tertahankan lagi’, tulis Connaught Telegraph, para penggarap lahan di bawah pengawasan Boycott mogok kerja, memprotes harga sewa dan pencaplokan lahan mereka secara serampangan.
Alhasil, Boycott dan keluarganya yang harus mengambil alih pekerjaan tersebut seperti memerah susu sapi, memasang sepatu kuda hingga menanam benih.
Para penjaga toko pun menolak melayani Boycott dan keluarganya. Kantor pos tak sudi mengantar surat-surat kepadanya. Pendeknya, dia dikucilkan dan tak berdaya melakukan aksi pembalasan. Para pendukung pun kehilangan semangat membela bos kecilnya.
Di London, sebuah editorial di harian Times mengulas secara mendalam peristiwa itu yang disebut sebagai suatu gambaran yang menakutkan dari kemenangan anarki yang belum terjadi di masyarakat mana pun, yang minta diakui sebagai tindakan beradab dan patut mendapat perlindungan hukum (Crawshaw & Jackson, 2010).
James Redpath, salah satu pentolan aksi mogok, akhirnya berkesimpulan bahwa tidak ada satu kata pun yang tepat untuk menyebut bentuk tindakan ketidakpatuhan yang berhasil itu.
Untuk memperkuat efek politik dari aksi mogok tersebut, Path merasa perlu ada sebuah penyebutan baru. Sebagaimana tertulis dalam catatan kenangannya pada 1881, Talks About Ireland, dia meminta nasihat kepada seorang pastor yang bersimpati, John O’Malley.
“Bagaimana kalau kita sebut saja itu mem-Boycott-nya,” ujar sang rohaniwan tersebut.
Dalam buku Captain Boycott and the Irish, Joyce Marlow menguraikan bagaimana seorang relawan pro Inggris datang untuk membela Boycott yang sedang tertekan itu, dikawal oleh satu detasemen dengan dukungan logistik cukup lengkap.
Namun setelah beberapa pekan ‘beralih profesi’ sebagai petani dengan kondisi cuaca yang sangat tidak mendukung, akhirnya para tentara itu menyerah juga. Boycott pun ditinggalkan. Sang Kapten akhirnya hengkang dan pulang kampung ke Inggris.
Dia tak pernah kembali lagi ke Mayo. Dan itulah awal mula perjalanan sejarah Irlandia meraih kemerdekaannya.
Selanjutnya, nama Sang Kapten yang semula tidak terkenal di pedalaman barat Irlandia itu pun mendunia dalam buku-buku kamus maupun di dunia politik praktis.
Menurut Crawshaw dan Jackson, rezim militer pimpinan Augusto Pinochet sempat menderita akibat tindakan boicotear produksi apel dan anggur Chile sebagai protes terhadap sikap politik dan pemerintahannya sejak berkuasa pada 1970-an.
Di Polandia, rakyat menentang pemberlakuan paksa undang-undang darurat oleh penguasa komunis pada 1981 dengan menyatakan bojkot terhadap siaran-siaran berita resmi televisi pemerintah.
Orang Rusia juga sempat membicarakan boikotirovat dan orang-orang Prancis menyebutnya unboycott.
Olimpiade Moskwa 1980 yang digelar dalam musim panas juga diboikot oleh Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya sebagai protes atas invasi negara Beruang Merah ke Afganistan.
Semua itu gara-gara satu kejadian kecil lokal saat panen sayur dan umbi-umbian yang gagal di pedalaman Irlandia pada 1880 silam. Kesialan Boycott mendunia.