Bisnis.com, JAKARTA — Pilihan Joe Biden atas Kamala Harris sebagai calon wakil presiden Amerika Serikat dari kalangan kulit berwarna, atau sering juga disebut Kulit Hitam, ternyata tepat setelah hasil pilpres menunjukkan kemenangan pasangan itu.
Kuatnya dukungan dari kalangan perempuan warga AS, terutama dari kalangan Kulit Hitam telah membuktikannya. Dukungan terhadap Kamala Harris dalam setiap kampanye tidak saja karena persoalan empati minoritas, tetapi juga mengalir karena sosoknya mampu mewakili mereka.
Apalagi sentimen rasial menguat akhir-akhir ini di Amerika Serikat setelah sejumlah insiden yang menewaskan warga Kulit Hitam atau yang sering disebut “Black Lives Matter”.
Siapa Kamala Harris?
Popularitas senator asal negara bagian California berusia 55 tahun tersebut terus meningkat tajam ketika dia terjun dalam pencalonan presiden dari Partai Demokrat pada awal 2019.
Kaum liberal di partai mencintainya karena menjadi wajah masa depan partai sebagai seorang wanita muda berkulit berwarna.
Semula, banyak yang mengira langkahnya mengajukan diri sebagai capres akan menghilangkan peluangnya sebagai calon wakil presiden.
Namun perkiraan itu meleset, malah sebaliknya dia justru ditunjuk Joe Biden, yang sebelumnya menjadi pesaingnya di internal partai, memilihnya sebagai pendamping.
Pada konferensi pers Juli lalu, catatan Joe Biden memuat bagian tentang Kamala Harris dengan pernyataan yang berbunyi: 'Jangan menyimpan dendam’.
Harris merupakan putri imigran dari Jamaika dan India. Dia merupakan keturunan Asia Selatan dari garis ibunya yang berasal dari suku India Tamil. Sementara itu, ayahnya berasal dari Jamaika.
Orangtuanya berpisah ketika dia berusia sekitar lima tahun. Ibunya membesarkan Harris dan adik perempuannya, Maya yang menjadi pengacara dan penasihat Hillary Clinton dalam kampanye presiden 2016.
Mantan Jaksa Agung negara bagian California yang menjadi populer di kalangan aktivis liberal itu sering mengajukan pertanyaan kerasnya terhadap para pejabat pemerintahan Presiden Donald Trump.
Sebagai salah satu pengkritik pertama terhadap kebijakan imigrasi Trump, Harris mendorong keras kesepakatan untuk melindungi para imigran yang datang ke negara itu dari tindakan deportasi.
Harris membuat sejarah pada tahun 2016 ketika dia menjadi wanita kulit berwarna pertama yang terpilih menjadi anggota Senat AS dari California, tanah kelahirannya.
Dia termasuk politisi yang menolak keras "politik identitas". Menurutnya, istilah tersebut penghinaan untuk meminggirkan masalah ras, gender dan orientasi seksual.
Dia juga termasuk di antara segelintir kalangan Demokrat yang secara agresif mempersoalkan masalah kemungkinan campur tangan Rusia dalam Pemilu 2016.
Sementara itu, di Senat, Harris memperkenalkan undang-undang untuk memberi keluarga berpenghasilan rendah pembayaran tunai dan kredit pajak untuk membantu memerangi stagnasi upah dan kenaikan biaya perumahan. Dia juga menjadi pendukung kuat reformasi peradilan pidana.
Kini, semua obsesinya untuk menegakkan keadilan dan mengikis politik rasial di negaranya terbuka setelah Pilpres AS 2020 membuka jalan baginya.
Sebagai pendamping Joe Biden, pria Kulit Putih yang ternyata memang tidak salah memilihnya, dia akan segera melenggang ke Gedung Putih dengan status wakil pesiden.