Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menilai bahwa harga yang dibayar Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam upaya memajukan Indonesia terlalu mahal. Pasalnya, Indonesia harus mengalami kemunduran demokrasi dalam prosesnya.
“Harga yang dibayar Jokowi untuk memajukan ekonomi di Indonesia itu terlalu mahal, yaitu reformasi. Itu masalah di kita kata The Economist,” kata Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto dalam webinar yang diselenggarakan LP3S dan Universitas Trunojoyo Madura, Kamis (5/11/2020).
Dia melanjutkan bahwa kemunduran demokrasi di Indonesia telah dirasakan sejak zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, pada periode kedua kepemimpinan Jokowi hal tersebut semakin terasa signifikan.
Seperti diketahui, pada tahun pertama periode kedua Jokowi, omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja mendapatkan sorotan besar. Undang-undang yang merupakan usulan eksekutif ini menjadi catatan dalam memperburuk kondisi demokrasi.
“Dari segi substansi, proses politik, legal formal di DPR, semakin memperparah demokrasi di Indonesia,” kata Wijayanto.
Tepat satu tahun sebelum omnibus law, pemerintah Jokowi juga menuai banyak protes karena mengesahkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kendati menuai kontroversi, Jokowi kala itu tetap menandatangani revisi undang-undang tersebut.
Tahun ini UU Cipta Kerja, kata Wijayanto, lebih kurang dalam kondisi yang serupa. Protes dari berbagai kalangan mulai dari substansi hingga proses pembentukan undang-undang tidak didengarkan oleh Presiden Jokowi.
“Ini omnibus law mau kejar ekonomi gak dapet. Mau kejar demokrasi juga gak dapet. Isu lingkungan juga tidak. Masalah HAM terkorbankan,” kata Wijayanto.
Adapun seperti diketahui, dalam sebuah pernyataan resmi, Presiden Jokowi menilai penolakan terhadap UU Cipta Kerja karena adanya disinformasi dan hoaks.
Dia pun menolak mengeluarkan peraturan pengganti perundang-undangan untuk membatalkan RUU yang disahkan DPR menjadi UU pada 5 Oktober 2020 itu.
"Namun saya melihat ada unjuk rasa penolakan cipta kerja yang pada dasarnya dilatarbelakangi disinformasi mengenai substansi dari undang-undang ini dan hoaks di media sosial,” kata Presiden.