Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Migrant Care Wahyu Susilo menilai Undang-Undang Cipta Kerja memberi sejumlah kerugian bagi buruh maupun pekerja migran. Regulasi ini juga dinilai mengenyampingkan atau abai pada perlindungan sosial untuk pekerja.
Pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR diketok pada 5 Oktober 2020. Gelombang protes bermunculan mulai dari serikat pekerja, mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat lainnya.
Wahyu Susilo menyebut kebijakan ketenagakerjaan dalam beleid tersebut akan lebih banyak tunduk pada kebijakan ekonomi. Padahal, filosofi hukum perburuhan adalah melindungi kaum pekerja yang lemah.
“Regulasi ketenagakerjaan lebih mengintegrasikan persoalan ketenagakerjaan sebagai kebijakan politik dan mengenyampingkan kebijakan sosial,” katanya saat webinar 'Nasib Buruh Pasca UU Cipta Kerja', Senin (12/8/2020).
Dia menerangkan, semula UU No. 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) akan disinkronkan dalam draf UU Cipta Kerja. Kemudian, muncul draf yang mengeluarkan UU tersebut dalam sinkronisasi setelah muncul kesepakatan bahwa klaster ketenagakerjaan dikeluarkan.
Wahyu menyebut setelah sempat dikeluarkan, muncul akrobat legislasi yang mengingkari kesepakatan-kesepakatan awal. Pada akhirnya, UU No. 18/2017 masuk dalam UU yang disinkronkan dan cenderung dilemahkan.
Baca Juga
Pasalnya, UU 18/2017 bertujuan untuk memperketat perketat perizinan dan ruang gerak Perusahaan Pengerah Pekerja Migran Indonesia. Sedangkan, pada Bab Ketenagakernan di draf Cipta Kerja berpotensi merelaksasi perizinan dan ruang gerak P3MI.
“ini merupakan pengingkaran terhadap spirit perlindungan migran Indonesia,” terangnya.
Di sisi lain, pengesahan UU Cipta Kerja dinilai tidak pada waktunya. Pasalnya, saat ini Indonesia sedang menghadapi pandemi Covid-19. Kaum pekerja diyakini menjadi kelompok rentan dari ancaman Covid-19.
Kementerian Ketenagakerjaan seharusnya menjadikan kaum pekerja sebagai basis prioritas setelah memiliki memiliki data pekerja yang di PHK serta peningkatan angka pengangguran.
Selain itu, sekitar 166.000 pekerja migran terpaksa kembali ke Tanah Air setelah mengalami PHK. Mereka bahkan tak masuk dalam skema ketenagakerjaan sosial di Kementerian Ketenagakerjaan.