Bisnis.com, JAKARTA - Undang-Undang Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja memicu pertentangan dari para pekerja, salah satunya adalah cuti haid,
Publik pun menafsirkan bahwa tidak ada hak itu lagi seperti yang tercantum pada Undang-Undang (UU) 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan bahwa pasal yang tidak ada di Omnibus Law bukan berarti dihapus.
“Dihapus atau tidak, harus dinyatakan di UU Cipta Kerja. Pengaturan tidak boleh otomatis harus dinormakan dengan jelas,” katanya saat dihubungi, Rabu (7/10/2020).
Berdasarkan pasal 93 UU 13/2003, ayat 1 tertulis upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Akan tetapi ada pengecualian. Ini tertulis pada ayat berikutnya.
Di situ, ketentuan pada ayat 1 tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila. Pada poin b tertera pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
Baca Juga
Akan tetapi, pada omnibus law tidak ada pembahasan mengenai pasal tersebut. Berdasarkan pantauan Bisnis, di antara pasal 92 dan pasal 93, disisipkan hanya 1 pasal, yakni pasal 92A.
Di situ, pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. Dengan regulasi yang ada, artinya cuti haid masih menjadi hak bagi perempuan.
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya mengatakan UU Cipta Kerja tidak menghilangkan cuti haid dan hamil. Dia menegaskan hal aturan tersebut tetap mengacu Undang-undang Ketenagakerjaan.
"Undang-undang Cipta Kerja ini tidak menghilangkan hak cuti haid, cuti hamil yang telah diatur di dalam Undang-undang Ketenagakerjaan," kata Airlangga di sidang paripurna DPR, Senin (5/10/2020)