Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah petinggi Fraksi PKS menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja dalam Rapat Kerja Pengambilan Keputusan Tingkat I, Sabtu (03/10/2020) malam.
Penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dilontarkan Wakil Ketua Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid. Melalui akun Twitter pribadi miliknya @hnurwahid, RUU Omnibus Law Cipta Kerja haruslah ditolak sebab RUU tersebut melonggarkan aturan impor pangan ke Republik Indonesia yang akan merugikan rakyat Indonesia.
“Negara mestinya buat UU untuk maju sejahterakan petani dan nelayan!” tegas Hidayat Nur Wahid dalam unggahannya melalui Twitter @hnurwahid seperti dikutip, Senin (5/10/2020).
Hal yang sama diungkapkan Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKS Tifatul Sembiring. Mantan Menkominfo era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu menolak RUU Omnibus Law sejak akhir Februari 2020 lalu.
“RUU Omnibus Law Ciptaker ini terlalu diburu-buru. Dari awal 79 UU mau digabung, rapat [dari] siang [hingga] malam. Investasi asing itu bagus, tetapi harus berpihak kepada merah putih. Jangan sampai menggadaikan aset-aset negara,” seperti dikutip dari akun Twitter pribadi miliknya @tifsembiring.
Baca Juga
Dia menambahkan masih banyak pasal RUU Omnibus Law yang bertentangan dengan UUD 1945, seperti kesejahteraan dan hak para buruh, pekerja, hingga lingkungan hidup.
Dikutip dari akun Twitter pribadi milik Anggota Fraksi PKS Mardani Ali Sera @MardaniAliSera, PKS menolak RUU Cipta Kerja untuk ditetapkan sebagai Undang-Undang (UU).
Mardani menilai UU yang dilahirkan dalam kondisi saat ini seharusnya bisa berdampak pada upaya pemulihan nasional. Baik kesehatan masyarakat, maupun perekonomian nasional akibat pandemi Covid-19.
Terlebih dalam prosesnya, tambah Mardani, RUU Cipta Kerja terkesan dipaksakan di tengah keterbatasan dalam menghadapi Covid-19.
“Tetiba paripurna penutupan dan pengesahan RUU Omnibus Law dimajukan hari ini 5 Oktober 2020 jam 15. Etiskah? Khawatir demo esokkah? Mestinya beri kesempatan semua pihak memberi masukan. Sikap PKS tegas: TOLAK OMNIBUS LAW!” tulis akun Twitter @MardaniAliSera seperti dikutip, Senin (05/10/2020).
Mardani menambahkan ada beberapa alasan mengapa RUU Cipta Kerja perlu ditolak, salah satunya yang berhubungan dengan upah pekerja.
“RUU ini memuat substansi pengaturan yang merugikan pekerja Indonesia melalui perubahan beberapa ketentuan yang lebih menguntungkan pengusaha. Tercermin dalam perubahan pasal-pasal yang erat kaitannya dengan hubungan kerja, upah, sampai pesangon,” kata Mardani.
Selain itu, ada pula aturan yang tertuang dalam RUU Cipta Kerja yang berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap kelestarian lingkungan hidup.
“Dalam pasal 37 terkait UU Kehutanan, ketentuan penyediaan luas minimum 30 persen untuk fungsi kawasan hutan dari daerah aliran sungai dihapus,” lanjut Mardani.
Tidak hanya itu, kewajiban membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup juga dihapuskan bagi pemegang izin usaha perkebunan.
Mardani menuturkan bahwa substansi dalam RUU Cipta Kerja lebih berorientasi kepada pelaku usaha besar dan penanaman modal asing dibanding memberikan dukungan dan konsep kebijakan yang komprehensif bagi pengembangan dan pemberdayaan UMKM maupun koperasi.
“Termasuk kurangnya dukungan riset dan teknologi terhadap pengembangan UMKM di Indonesia,” ungkap Mardani.
Bisnis.com/Rika Anggraeni