Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Melepas Jerat Isolasi, Mimpi Pembangunan di Tengah Aceh

“Kami cuma perlu ini dibangun. Tak tahu kami debat politik-politik itu, kami orang kampung butuhnya cuma pembangunan,” ujarnya penuh harap.
Ilustrasi - Warga memetik kopi Arabika saat perayaan panen massal dalam rangkaian festival panen kopi di Bener Meriah Aceh./Antara
Ilustrasi - Warga memetik kopi Arabika saat perayaan panen massal dalam rangkaian festival panen kopi di Bener Meriah Aceh./Antara

Bisnis.com, JAKARTA - “Di daerah kami semua masih terkendala.” Fajri mengucapkan kalimat itu dengan masih memendam amarah. Di usianya yang menjelang 30 tahun, dia belum merasakan tanah kelahirannya, Samarkilang Kabupaten Bener Meriah, Aceh, telah benar-benar merdeka.

Merdeka yang dimaksud Fajri adalah kesejahteraan. Tersedianya infrastruktur berupa jalan, rumah sakit, sekolah, dan tenaga pendidik yang bisa dengan mudah didapat oleh warga sebagaimana di daerah lain.

Namun, kesejahteraan di daerahnya masih jauh panggang dari api. Bahkan, masih terlipat dalam kantong safari wakil rakyat di Gedung Dewan. Situasi ini tampak dari sebagian mereka yang memilih tak sejalan dengan niat pemerintah Aceh melepas Samarkilang dari keterisolasian.

Pemprov menggunakan proyek tahun jamak (multiyears) 2020-2022, membangun infrastruktur jalan di wilayah tengah Aceh. Belakangan proyek yang diperkirakan menguras anggaran Rp2,7 triliun itu jadi buah bibir di masyarakat. Sebagian anggota dewan menolak proyek ini.

Itulah yang membuat darah Fajri 'panas', dan bersama ratusan warga Samarkilang pada 25 September 2020 memutuskan unjuk rasa.

Saat itu, sedang berlangsung rapat paripurna dihadiri Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Nova Iriansyah. Nova diinterpelasi atau dimintai keterangan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) terkait beberapa kebijakannya, yang salah satunya tentang proyek tahun jamak itu.

Bagi warga Samarkilang yang sudah geram merasakan lambatnya pertumbuhan ekonomi di kampung mereka, pergi mengarungi jarak 250 kilometer untuk datang ke gedung dewan di Banda Aceh.

Warga marah terhadap lembaga legislatif yang menghambat pembangunan ruas jalan di sana. Terlebih sampai di daun telinga mereka ada barisan anggota DPRA dari daerah pemilihan Bener Meriah–Aceh Tengah yang mestinya memperjuangkan, malah menolak pembangunan melalui dana proyek tahun jamak itu.

Fajri menceritakan warga di sana sangat mengidam-idamkan infrastruktur jalan. Jalan lintas diyakini akan memberikan dampak ekonomi lebih luas bagi masyarakat setempat.

Selama ini, hasil panen sering kali terpaksa dibiarkan membusuk hanya karena mereka terisolir. Kalau sudah begini warga hanya bisa pasrah.

“Nggak tahu kita mau apakan hasil panen itu,” katanya lirih.

Hampir seluruh warga Samarkilang menggantungkan hidup dari bertani. Tak ayal, akses jalan yang memadai adalah kebutuhan mendesak bagi mereka.

Wilayah tengah Provinsi Aceh jauh hari sudah mahsyur sebagai daerah sentra pertanian. Namun, potensi itu belum maksimal dikelola. Badan jalan masih terdapat lobang sana-sini. Jembatan dengan lantai kokoh belum banyak berdiri.

Kendala tersebut membuat distribusi barang semacam sayur, buah, dan hasil kebun lainnya kerap macet.

Budy Ruslan, misalnya. Warga di Kecamatan Ketol, Aceh Tengah itu mengeluhkan kondisi serupa yang dialami Fajri. Pemuda berusia 25 tahun ini, memilih pulang kampung usai menamatkan kuliah di Universitas Abulyatama Aceh Besar. Dia punya mimpi ingin membuat wilayah Ketol yang melimpah tanaman tebu itu maju berkembang.

Jalan Sering Longsor

Dia memulai dengan merintis usaha sebagai pengepul hasil panen petani sejak 2018 lalu. Tebu, dibawa Ruslan keluar Aceh Tengah menuju Medan, Padang, bahkan sampai ke Batam.

Begitu juga dengan tanaman tomat, cabai, dan bawang kerap ia ekspor ke luar Aceh. Namun, setelah 2 tahun bergelut dengan dunia usaha ini, Ruslan mulai menyadari ada sesuatu yang tak beres yang selama ini membuat petani di kampungnya tak kunjung sejahtera.

Salah satunya adalah distribusi hasil panen warga di pelosok-pelosok kampung terhambat karena jalanan sering longsor.

Di samping itu, tingginya ongkos produksi dan minim inovasi di kalangan petani, jadi momok yang bikin mereka terus dililit kemiskinan. Harusnya kata dia, pemerintah hadir memberi solusi terkait masalah itu. Bukan membiarkan petani berjibaku dengan cara mereka sendiri-sendiri.

Dia memberi contoh tanaman tomat. Saat musim panen tiba seringnya tomat dari Aceh Tengah dan sekitarnya hanya mampu menjadi barang mentah yang dikirim ke luar daerah. Beruntung itu jika bisa diekspor, tapi kata Ruslan kalau sedang terjadi longsor berhari-hari, buah tomat dibiarkan busuk tak terurus.

Padahal katanya, jika saja pemerintah jeli melihat peluang untuk membangun usaha mikro kecil menengah (UMKM) ataupun skala besar, bukan tak mungkin di Aceh Tengah atau Bener Meriah punya industri saus tomat. Menumbuhkan geliat ekonomi lain demi petani yang limbung tatkala diterpa kehendak alam.

“Cuma masalahnya ini yang enggak dilihat (pemerintah),” ujarnya ketus.

Keketusan Ruslan semakin menjadi tatkala tahu sebagian anggota DPRA sedang mengganjal geliat pembangunan di wilayah tengah.

Menurutnya, lembaga pemerintah apa pun di Aceh penting memperhatikan daerah dataran tinggi tersebut. Dia menyebut ‘kue APBA’ belum sepenuhnya dirasakan masyarakat di sana. Itu berbeda dengan apa yang diperoleh saudara dari pesisir Aceh.

Sudirman, warga Kampung Cekal Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah boleh dikata yang paling kentara merasakan belum meratanya pembangunan di wilayah tengah Aceh itu. Butuh sekitar 30 menit membelah jalanan sempit dan berbukit menuju kampungnya dari simpang pasar Timang Gajah.

Kampung itu lumayan mudah diakses jika musim kemarau. Tapi kalau musim hujan lain lagi kondisinya. Wilayah itu jadi rawan longsor. “Ya, beginilah kondisi kami di sini,” katanya.

Beruntung, warga Cekal tahun lalu baru sedikit bisa tersenyum saat jalan kampung sudah dibalut aspal. “Itu pun masih ada beberapa kilo lagi yang belum,” ujar Sudirman.

Janji Kosong

Bertahun-tahun ikut Pemilihan Umum, warga Cekal hanya mendapati janji kosong kampanye. Perlahan mereka mulai tak percaya dengan pemangku kepentingan publik. Berbilang tahun warga menunggu pemimpin yang mau membuka Cekal dari keterisolasian. Baru pada tahun 2019, warga melihat sosok pemimpin itu hadir dan memahami keluhan warga.

“Pak Hendra Budian itulah orangnya. Dia yang bantu jalan ini. Beliau janji 2021 jalan dibangun akan sampai ke kebun,” kata Sudirman.

Nama yang disebut Sudirman cukup dikenal masyarakat Gayo, suku mayoritas penghuni wilayah tengah Aceh. Sejak kuliah, Hendra membuktikan diri dengan memilih jalan menjadi aktivis yang getol membela hak rakyat.

Kisah perjuangan Hendra Budian untuk orang Gayo bukan terjadi baru ‘kemarin malam’. Pernah dia bersama ratusan masyarakat Aceh Tengah dan Bener Meriah menduduki kantor Kejaksaan Negeri Aceh medio 2008.

Saat itu, Hendra memimpin aksi menuntut penegak hukum menyelesaikan perkara penyelewengan dana bantuan rumah korban konflik yang dikelola Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Aksi tersebut menyebabkan Hendra Budian ditahan aparat keamanan karena berakhir ricuh. Dia pasang badan bertanggung jawab.

Dari ‘parlemen jalanan’ Hendra punya kesempatan mewujudkan asa sejahtera bagi masyarakat Gayo di parlemen sungguhan. Tahun 2019 dia diantar masyarakat wilayah tengah Aceh jadi wakil rakyat.

Setahun baru duduk, dia langsung tancap gas memberi kontribusi pada daerah pemilihannya. “Respon beliau cepat kalau kami butuh bantuan,” tutur Sudirman.

Kendati begitu, belakangan Sudirman dibuat kecewa. Anggota dewan itu terpojok di gedung dewan hanya karena kukuh mempertahankan proyek pembangunan infrastruktur tahun jamak.

Yang bikin kecewanya membuncah, di telinganya juga terlintas kabar ada wakil rakyat dari daerah pemilihan Bener Meriah dan Aceh Tengah coba menghambat pembangunan itu.

“Apa maunya mereka ini?” tanyanya jengkel.

Di sisi lain, dia juga kecewa dengan sikap partai Golkar, tempat Hendra Budian naik menduduki kursi dewan. Partai beringin itu malah ikut mengganjal niat baik kader. “Kenapa Golkar begini? Membunuh karakter kader yang mau membangun,” timpalnya.

Di mata orang-orang seperti Sudirman, tak butuh debat panjang politisi untuk terlihat bahwa harapan mereka sedang diperjuangkan. Yang jelas, warga pelosok seperti dirinya cuma perlu sentuhan kesejahteraan dari orang yang punya kuasa. Bagaimanapun caranya.

Penghuni kampung Cekal mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Mereka banyak berkebun di bukit-bukit di ujung kampung. Masih ada belasan kilometer lagi jalan kampung yang rusak. Satu jembatan tua yang saban hari dilintasi petani juga telah lapuk dimakan usia. Kondisi ini bukan saja menyulitkan warga Cekal, namun 13 kampung di sekitarnya turut kena dampak.

“Kami cuma perlu ini dibangun. Tak tahu kami debat politik-politik itu, kami orang kampung butuhnya cuma pembangunan,” ujarnya penuh harap.

Selama ini warga kepayahan mengangkut hasil panen karena kondisi infrastruktur yang memilukan. Belum lagi kalau musim hujan, jalanan yang diapit tebing di kampung tersebut kerap longsor dan materialnya tumpah ke badan jalan. Sebuah ironi yang belum lekang dari wajah wilayah tengah Aceh.

Genap setahun sudah anggota DPRA duduk di gedung yang beralamat di jalan Daud Beureueh itu. Dari wilayah tengah Aceh ada enam orang yang diberi amanah. Tapi, asa warga seperti Fajri, Budy Ruslan, dan Sudirman masih terlipat di dalam kantong safari wakil rakyat.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rayful Mudassir
Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper