Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

YLBHI Desak Perampasan Tanah Adat Basipae Dihentikan

YLBHI beralasan masyarakat adat Basipae secara turun temurun telah menguasai dan hidup di atas tanah adatnya.
Kepala Badan Pendapatan dan Aset Provinsi NTT Zeth Sony Libing (kiri) bersama tiga tokoh adat di Besipae berpose sambil menunjukkan dokumen yang ditandatangani bersama terkait dengan kesepakatan mengakhiri konflik lahan di Pubabu Besipae, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan di Besipae, Jumat (21/8/2020)./Antara-Laurens Leba Tukan
Kepala Badan Pendapatan dan Aset Provinsi NTT Zeth Sony Libing (kiri) bersama tiga tokoh adat di Besipae berpose sambil menunjukkan dokumen yang ditandatangani bersama terkait dengan kesepakatan mengakhiri konflik lahan di Pubabu Besipae, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan di Besipae, Jumat (21/8/2020)./Antara-Laurens Leba Tukan

Bisnis.com, JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk menghentikan langkah perampasan tanah adat Basipae.

Pasalnya, menurut Wakil Ketua Advokasi YLBHI, Era Purnamasari, masyarakat adat Basipae secara turun temurun telah menguasai dan hidup di atas tanah adatnya.

"Pada 18 Agustus 2020 telah terjadi perampasan tanah masyarakat adat Basipae. Perampasan tanah ini menambah kasus perampasan tanah di berbagai wilayah di Indonesia dalam situasi pandemic Covid-19," ujarnya melalui siaran resmi, Sabtu (22/8/2020).

Menurut informasi yang diterima oleh YLBHI, Pemerintah Provinsi NTT melalui Polisi Pamong Praja menggusur tanah adat mereka dengan mendasarkan pada sertifikat Hak Pakai Hak Pakai Nomor 00001 tanggal 19 Maret 2013 seluas 37.800.000 m2 atas nama pemegang Hak Pakai yaitu Dinas Peternakan Provinsi NTT.

"Jika keberadaan sertifikat Hak Pakai tersebut benar adanya, maka YLBHI mengingatkan pemerintah bahwa sertifikat bukanlah satu-satunya alat bukti kepemilikan atau penguasaan atas tanah," ujarnya.

Dirinya menegaskan bahwa bukti-bukti kepemilikan masyarakat adat tidak berarti bisa dikalahkan serta merta oleh sertifikat.

"Sertifikat tersebut masih harus diuji kebenarannya baik secara prosedural maupun substansial," ujarnya.

Dia menerangkan, pada Bab II Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu Pasal 19 ayat (2) huruf c dinyatakan bahwa pendaftaran tanah meliputi surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai pembuktian yang kuat.

Tetapi, hal ini hanya apabila data yuridis dan data fisik yang ada pada sertifikat itu sama dengan data-data yang ada di buku tanah atau surat ukur selama tidak dibuktikan sebaliknya sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 32 ayat (1) PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan penjelasannya.

"Dalam hukum adat, penguasaan tanah umumnya melalui pernyataan dan penguasaan tanah secara nyata. Orang yang menguasai fisik tanah dengan itikad, turun temurun tanpa digugat oleh orang lain diakui oleh pemilik tanah yang berbatasan maka dialah pemilik tanah yang sesungguhnya,"terangnya.

Menurutnya hukum adat berjalan terus menerus seperti itu tanpa harus ada bukti-bukti tertulis. Hal yang demikian dijamin oleh hukum dan hak asasi manusia baik di tingkat nasional maupun internasional.

Indonesia adalah salah satu negara yang menandatangani Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat (UNDRIP) yang diadopsi dalam Sidang Umum PBB tahun 2007.

Karena itu Indonesia terikat secara moral untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat di muat di dalam UNDRIP baik hak masyarakat atas tanah dan sumber daya alam, hukum-hukum adat maupun hak-hak lainnya termasuk hak atas persetujuan bebas tanpa paksaan, didahulukan, dan diinformasikan (Free Prior and Informed Consent/FPIC).

Bahkan Konstitusi Indonesia telah menjamin hak-hak masyarakat adat baik dalam Pasal 18 B ayat (2), Pasal 28I ayat (3), dan Pasal 32 ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Selain itu hak-hak masyarakat adat juga diakui dalam UUPA, Undang-undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta perundang-undangan lainnya.

YLBHI menyoroti tiga hal dari peristiwa perampasan tanah adat masyarakat Basipae. Pertama, munculnya sertifikat Hak Pakai di atas tanah adat mereka. Kedua, pengrusakan rumah-rumah dan tanah masyarakat adat, dan ketiga adalah kriminalisasi terhadap masyarakat adat Basipae. .

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper