Bisnis.com, JAKARTA – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat ada beberapa sekolah maupun pesantren yang mencatatkan kasus positif kaus Virus Corona penyebab Covid-19 tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa pembukaan sekolah masih berisiko tinggi pada masa pandemi Covid-19 yang makin parah.
Wakil Sekjen FSGI Satriwan Salim menyebut sampai 10 Agustus ada 17 sekolah dan pesantren yang catatan kasus Corona-nya cukup signifikan, yaitu:
1. 28 guru dari 2 sekolah di Kota Balikpapan positif covid-19 (terbaru)
2. 35 santri dari pesantren di Kab. Pati positif covid-19 (terbaru)
3. 4 guru di Kota Surabaya
Baca Juga
4. 2 siswa di Kab. Sumedang
5. 2 siswa di Kab. Sambas
6. 2 guru di Kota Pariaman
7. 1 siswa di Kota Sawahlunto
8. 1 siswa di Kab. Tegal
9. 1 siswa di Kota Tegal
10. 1 guru di Kota Solo
11. 1 guru meninggal positif covid-19 di Kab. Madiun
12. 1 guru di Kota Madiun
13. 50 santri di Ponpes Gontor 2 Kab. Ponorogo
14. 5 pengajar (ustaz) di Ponpes Kota Tangerang
15. 1 pengajar (ustaz) dan 6 santri di Kab. Wonogiri
16. 3 santri di Ponpes Kab. Pandeglang
17. 43 santri di Ponpes Temboro Kab. Magetan
Kendala Belajar Daring
Satriwan mengatakan bahwa selama pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar daring memang banyak kendala khususnya secara teknis. Namun, ada baiknya untuk menjaga kesehatan guru, orang tua, dan murid, sekolah tetap melaksanakan PJJ.
“Laporan pelaksanaan PJJ Fase I [Maret-Juni] dan PJJ Fase II [Juli-Agustus] yang diterima FSGI persis sama misalnya, tidak ada jaringan internet, sinyalnya buruk, siswa dan guru tak punya gawai, persoalan jaringan listrik, metode guru kunjung tak optimal, orang tua tak bisa optimal mendampingi anak selama PJJ, dan penugasan bagi siswa dari guru menumpuk sehingga banyak siswa ketinggalan materi pembelajaran,” terangnya, Senin (10/8/2020).
Sejumlah pelajar dari berbagai jenjang sekolah mengikuti proses belajar mengajar dalam jaringan (daring) menggunakan fasilitas WiFi gratis, di Masjid Al Muhajirin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (8/8/2020). Pengurus Masjid Al Muhajirin menyediakan fasilitas akses internet melalui WiFi secara gratis bagi pelajar yang kesulitan biaya untuk mengikuti belajar mengajar secara daring selama masa pandemi COVID-19. ANTARA FOTO/Bayu Pratama
Adapun, beberapa wilayah seperti Bengkulu, Kalimantan Timur, dan Kabupaten Malang yang kepala sekolahnya belum merealokasikan Dana BOS untuk subsidi kuota internet siswa dan guru.
“Bagi FSGI, seharusnya pemerintah pusat dan daerah lebih dulu membenahi persoalan PJJ itu semua. Koordinasi dan komunikasi yang intens dan solutif lintas kementerian, lembaga, dan Pemda adalah kuncinya,” tegasnya.
Menurutnya, tidak optimalnya pusat dan daerah menyelesaikan pelayanan terhadap proses PJJ yang sudah 2 fase ini, harusnya bukan menjadi alasan sekolah di zona kuning dibuka kembali. Sebab, risiko nyawa dan kesehatan anak, guru, dan orang tua lebih besar ketimbang tertinggal dan tak optimalnya layanan pendidikan bagi anak selama PJJ.
Merujuk pada Konvensi PBB tentang Anak, bahwa anak memiliki hak hidup dan hak memeroleh kesehatan. Mendapatkan pendidikan juga menjadi hak anak. Namun mesti diingat bahwa, anak yang bisa belajar dan mendapatkan pendidikan adalah anak yang hidup dan sehat.
“Ketika anak masuk sekolah di zona kuning, maka jelas jika kehidupan, nyawa, dan kesehatannya sedang terancam. Bagaimana anak akan memeroleh pendidikan dan pembelajaran jika kesehatan dan jiwanya terancam Covid-19?” lanjut Satriwan.
Kemudian, Seken FSGI Heru Purnomo menambahkan dalam kondisi seperti ini guru juga memiliki hak mendapatkan perlindungan atas kesehatan dan keselamatan dalam bekerja.
Poin tersebut terkandung di dalam Permendikbud No. 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan terhadap Tenaga Pendidik dan Kependidikan di Satuan Pendidikan. Menurutnya, kesehatan dan keselamatan nyawa guru juga terancam ketika sekolah dibuka kembali di zona kuning.
Heru menilai, SKB 4 Menteri yang Juni lalu sebenarnya sudah relatif bisa menjaga anak dan guru. Misal, SD bisa dibuka di zona hijau 2 bulan setelah SMP/SMA. Tapi, dalam SKB 4 Menteri yang baru, SD diperkenankan dibuka bersamaan dengan SMP/SMA di zona kuning. Padahal secara usia, justru anak SD belum memahami risiko dan kesadaran akan kesehatan yang baik.
“SKB 4 Menteri sebelumnya banyak dilanggar oleh Pemda. Ada 79 daerah yang melanggar SKB 4 Menteri, dan anehnya tak ada sanksi dari pusat kepada daerah yang melanggar aturan tersebut. Padahal 79 daerah ini sedang mempermainkan kesehatan dan nyawa anak bersama guru,” ungkap Heru.
SKB 4 Menteri
FSGI mengkhawatirkan SKB 4 Menteri yang baru justru berpotensi dikesampingkan di daerah apalagi dengan tidak adanya sanksi bagi daerah yang melanggar.
“Keputusan ini justru akan membuat daerah dan sekolah berbeda-beda nanti dalam praktiknya,” imbuhnya.
Selain itu, ditinjau dari efektivitas pembelajaran siswa tatap muka di sekolah zona kuning juga tak menjamin. Sebab pembelajaran dibatasi 4 jam per hari, dan kegiatan sosial di sekolah juga dilarang seperti kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan olahraga.
“Jadi sebenarnya psikososial siswa juga sangat dibatasi walau tatap muka. Karena kegiatan kesiswaan semuanya dilarang. Padahal yang diidam-idamkan oleh anak untuk masuk sekolah adalah kegiatan sekolah yang banyak tadi, berkumpul ramai-ramai, nah sekarang justru semua itu dilarang. Artinya pembelajaran di sekolah juga tak akan efektif,” jelasnya.
Heru melanjutkan, bagi FSGI opsi memperpanjang PJJ dengan beberapa perbaikan adalah pilihan terbaik saat ini daripada anak harus masuk sekolah di zona kuning dan hijau tapi malah mengancam kesehatan dan nyawanya.
“FSGI berharap kepada orangtua siswa, akan kelapangan dan kesabaran hati dalam mendampingi anak selama PJJ. Komunikasi yang intensif antara guru, wali kelas, dan orang tua adalah kunci kebaikan selama PJJ bagi anak,” terangnya.
Heru juga meminta agar SKB 4 menteri yang baru ini benar-benar diawasi pelaksanaannya. Kemdikbud dan Kemenag harus memverifikasi langsung ke sekolah terkait pengisian Daftar Cek Protokol Kesehatan yang diisi sekolah.
“Jangan sampai sekolah tak jujur mengisi. Harus dikroscek betul apakah sekolah sudah betul-betul siap menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Jangan hanya sekedar mengisi kuesioner secara formalitas, lantas tanpa turun langsung ke sekolah/madrasah, karena ini akan berbahaya bagi anak dan guru,” tegasnya.