Bisnis.com, JAKARTA — Majelis Ulama Indonesia, hari ini, Minggu (26/7/2020), genap berusia 45 tahun. Ratusan fatwa sudah dikeluarkan sejak 26 Juli 1975, dari soal Khalifah, virus corona atau Covid-19 hingga yang terakhir mengenai Perubahan Aset dan Liabilitas dari Bank Konvensional Menjadi Bank Syariah.
Pada 45 tahun silam atau 17 Rajab 1395 Hijriah, Presiden Soeharto mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tujuan memperkuat agama dengan cara yang dijelaskan Pancasila untuk memastikan ketahanan nasional, partisipasi ulama dalam pembangunan nasional, dan mempertahankan keharmonisan antarumat beragama di Indonesia.
“Pemerintah berkepentingan dengan adanya suatu Majelis Ulama Indonesia, yang akan berperan sebagai penghubung dengan umat Islam Indonesia yang demikian banyak jumlahnya itu, baik yang telah menggabung pada salah satu organisasi yang ada maupun yang belum,” kata Soeharto dalam Rakernas MUI pada 20 Desember 1989, seperti dikutip dari soeharto.co.
MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu.
Selain itu, ada 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah.
Tak ketinggalan 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Baca Juga
Dari musyawarah tersebut, dihasilkan sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah Piagam Berdirinya MUI yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, saat Indonesia tengah bergulat dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.
Selama perjalanan 45 tahun, MUI sudah dipimpin oleh 7 ketua umum dan satu pelaksana tugas (plt), yaitu pertama Buya Hamka (1977–1981), KH. Syukri Ghozali (1981–1983), KH. Hasan Basri (1983–1990), Prof. KH. Ali Yafie (1990–2000), KH. M. Sahal Mahfudz (2000–2014), HM. Din Syamsuddin (2000–2014), KH. Ma`ruf Amin (2014-2019), dan terakhir yaitu Zainut Tauhid Sa'adi, yang merupakan wakil menteri agama, sebagai pelaksana tugas.
Pada 2 Agustus 1978, Buya pernah mengeluarkan fatwa mengenai masalah Jama’ah, Khalifah, dan Bai’at. Kala itu, Kejaksaan Agung bertanya kepada MUI soal dibentuknya Jamaat Muslimin Hizbullah di bawah pimpinan Syeh Wall Al Fatah pada 1953, yang hingga kala itu masih berdiri.
Dalam salah satu fatwanya, MUI menyebut diperlukannya usaha-usaha dakwah terhadap kekeliruan pemahaman terhadap yang berlainan dengan pemahaman umum tentang Al-quran dan Hadits.
Pada awal pendirian MUI, Buya Hamka, sebagai tokoh Islam progresif sebenarnya menginginkan MUI sebagai lembaga independen yang bertanggungjawab dalam menjaga kemurnian ajaran Islam, meluruskan pemahaman tentang modernisasi, menjaga kepentingan umat Islam Indonesia, serta sebagai penyampai aspirasi umat kepada pemerintah. Di sisi lain, Soeharto mengunakan MUI sebagai bagian dari kebijakan politiknya.
Karena itu, tak heran jika ketua umum MUI terakhir, yaitu KH Ma`ruf Amin juga digandeng oleh Presiden petahana Joko Widodo sebagai Wakil Presiden.
Kini, di tengah pandemi virus corona atau Covid-19 hingga transformasi digital yang berlangsung instan, MUI pun berupaya untuk tetap hadir. Setidaknya sudah ada 36 fatwa yang dikeluarkan sepanjang 2020. Terbanyak adalah fatwa soal Covid-19, dari aturan shalat Jumat, pemandian jenazah hingga terakhir panduan Shalat Idul Adha dan penyembelihan kurban.
MUI juga sempat angkat bicara soal viral klepon yang tidak islami walau tidak sampai menjadi sebuah fatwa.