Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama para stakeholder industri kehutanan terus berupaya meningkatkan produktivitas dan keberlangsungan usaha untuk seluruh pihak yang bekerja di hutan produksi, meski sedang dilanda pandemi Covid-19.
Hal tersebut dikemukakan Sekretaris Jenderal KLHK sekaligus Plt Direktur Jenderal PHPL Bambang Hendroyono saat memberikan penjelasan pada media briefing secara virtual, Rabu (15/7/2020).
Menurut Bambang, pandemi Covid-19 telah berdampak pada kinerja usaha hulu-hilir sektor kehutanan. Kinerja ekspor produk industri kehutanan turun hingga ke level minus 8,3% pada periode Januari-Mei 2020, dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Akan tetapi, kemudian mengalami perbaikan secara signifikan menjadi minus 5% pada penilaian periode Januari-Juni tahun ini.
“Angka tersebut menunjukkan peningkatan kinerja ekspor produk kehutanan sebesar 3,3% sejak Juni tahun ini, yang merupakan pencapaian positif di tengah pandemi yang sedang berlangsung,” ujar Bambang.
Bambang optimistis, meskipun pertumbuhannya masih di bawah nol, tetapi tidak mengalami penurunan lebih jauh. Hal ini mengindikasikan bahwa kinerja ekspor sektor kehutanan masih berada pada jalur yang positif.
Sementara itu, kinerja sektor hulu kehutanan di masa pandemi Covid-19 untuk produksi kayu bulat hutan alam periode Januari–Juni 2020 mengalami penurunan sebesar 3,90% dibanding periode yang sama tahun 2019. Di sisi lain, produksi kayu bulat hutan tanaman justru meningkat sebesar 21,50%.
KLHK telah melakukan cara kerja baru dalam mengelola hutan produksi secara lestari. Pengelolaan hutan produksi dilakukan dengan pendekatan landscape, kemudian analisis spasial untuk melihat area rawan karhutla, konflik tenurial, dan mengintegrasikan sektor produksi di hulu dengan industri di hilirnya.
Ketika ditemukan masalah di lapangan, secepatnya untuk menemukan solusi. Terakhir adalah integrasi program baik untuk industri di hulu dan hilir, serta untuk pasar.
Untuk mendorong peningkatan produktivitas industri kehutanan, Bambang menjelaskan sejumlah kebijakan. Pertama, untuk industri produksi di hulu, adalah mempercepat pembangunan hutan tanaman rakyat (HTR) dan pengembangan agroforestry di areal kerja IUPHHK-HTI, kemudian mewujudkan pembangunan multiusaha di areal IUPHHK, serta penyederhanaan perizinan berusaha di bidang pemanfaatan hutan produksi.
Kedua, untuk industri di hilir, beberapa kebijakan pemerintah adalah dengan usulan peningkatan luas penampang produk ekspor industri Kehutanan, memperluas keberterimaan pasar dengan memperkokoh penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), serta fasilitasi sertifikasi SVLK untuk usaha kecil menengah.
“SVLK telah berkontribusi secara signifikan pada peningkatan kinerja ekspor produk industri kehutanan. Kedepan, kami menargetkan pemulihan kinerja ekspor produk industri kehutanan lebih baik lagi, yaitu meningkatkannya ke level positif secepat mungkin,” kata Bambang.
Menurut Bambang, target tersebut realistis karena produksi di sektor hulu telah menunjukkan pertumbuhan substansial pada pertengahan tahun 2020, terutama dari hutan tanaman industri.
“Kami terus menjaga hubungan linear positif antara pertumbuhan produksi di sektor hulu (yang terus menunjukkan tren positif) dengan kinerja ekspor produk industri kehutanan (hilir),” katanya.
Bambang kemudian menyinggung soal multiusaha kehutanan. Menurutnya, hal tersebut sangat diperlukan karena pada masa yang lalu, nilai ekonomi riil lahan hutan sangat rendah, pasar kayu yang berasal dari hutan alam cenderung menurun, dan perlu optimalisasi ruang pemanfaatan kawasan hutan.
Multiusaha kehutanan juga dapat bermanfaat sebagai alternatif sumber PNBP selain hasil hutan kayu.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo yang hadir juga sebagai narasumber memaparkan tantangan kinerja sektor kehutanan pada tahun 2020. Menurutnya, pandemi Covid-19 yang terjadi hingga saat ini telah memberikan tekanan terhadap kinerja sektor usaha kehutanan.
Indroyono memaparkan nilai ekspor produk kayu bersertifikat legal meningkat dari US$9,84 miliar pada 2015, US$9,2 miliar pada 2016, US$10,9 miliar pada 2017, US$12,1 miliar pada 2018. Namun pada 2019, nilai ekspor menurun sebesar 4% dari tahun sebelumnya menjadi hanya US$11,6 miliar.
Terdapat 5 negara terbesar tujuan ekspor kayu olahan Indonesia. Negara tersebut secara berurutan peringkatnya adalah China, Jepang, Amerika Serikat, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa, serta Korea Selatan. Beberapa negara yang mengimpor produk industri kehutanan Indonesia mulai bangkit kembali di tengah situasi Covid-19.
Pada Juli tahun ini, pihaknya mendengar nilai ekspor Indonesia meningkat lagi. Januari belum ada pandemi Covid-19, kinerja ekspor naik 2,1% dibandingkan tahun lalu periode yang sama, Februari naik 2,3%, Maret mulai terdapat kasus Covid-19 dan tren ekspor mulai menurun -1,9% April, dan Mei tidak ada kontainer keluar masuk, makin turun -4,3 % hingga -8,4%.
Namun, pada bulan Juni terjadi rebound, nilai ekspor Indonesia naik, meskipun masih minus yaitu -5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Kami berharap bulan Juli tahun ini akan meningkat sehingga sesuai arahan presiden pada triwulan ketiga sudah positif,” tuturnya.