Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jokowi Marah Jadi Bahan Gunjingan Negatif di Media Sosial

Kemarahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di hadapan para pembantunya dinilai cerminan pengakuan kinerja yang rendah. Pergunjingan di media sosial terhadap kemarahan jokowi sebagian besar bernada negatif.
Jokowi: Kepikiran Untuk Reshuffle Kabinet
Jokowi: Kepikiran Untuk Reshuffle Kabinet

Bisnis.com, JAKARTA - Kemarahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di hadapan para pembantunya dinilai cerminan pengakuan kinerja yang rendah. Pergunjingan di media sosial terhadap kemarahan jokowi sebagian besar bernada negatif.

Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) Didik J. Rachbini mengatakan bahwa marah dan kinerja tidak terkait langsung berpengaruh terhadap perbaikan kinerja.

Marah dan kinerja tidak terkait langsung berpengaruh terhadap perbaikan kinerja,” ujarnya dalam diskusi daring LP3ES, Senin (6/7/2020).

Menurutnya, marah terhadap kinerja kebijakan ekonomi dan pandemi bisa merupakan kritik internal, tetapi bisa juga melenyapkan fakta terhadap kinerja yang gagal karena tergantikan oleh drama yang secara politik menarik bagi media dan publik secara luas.

Didik menambahkan bahwa selama 26 Juni hingga 3 Juli 2020, pihaknya melakukan riset sentimen publik untuk melihat sentimen publik terhadapn isu Jokow marah di depan menteri-menterinya, yang menimbulkan drama nasional sampai saat ini.

Riset ini dilakukan dalam periode yang tidak lama tetapi dirasakan cukup untuk melihat respons publik terhadap kemarahan seorang Presiden,” terangnya.

Dalam riset itu, ditemukan fakta bahwa di semua media sosial yakni YouTube, Facebook, Twitter dan Instagram, sejak video Jokowi marah diunggah oleh Setkab, pembahasan tentang isu ini secara agregat dominan dalam nada negatif sebesar 44 persen. Pada dua hari pertama (28 dan 29 Juni) pembahasan dominan dalam nada netral. Pembahasan dalam nada netral langsung anjlok di hari ketiga (30 Juni), hingga menduduki posisi ketiga terakhir dengan 17 persen atau 2.799 mention.

Volume perbincangan tentang Jokowi marah paling tinggi terjadi di Twitter. Secara umum, perbincangan cukup positif di semua kanal, kecuali di Twitter sementara di kanal YouTube adalah yang paling positif saat membicarakan isu ini.

Khusus untuk Twitter, pada periode riset tersebut, dari total 60.846 mention, 30.443 mention bernada negatif. Sisanya, warganet memilih mention positif dan netral. Menurut Didiek, cuitan demi cuitan dalam nada negatif terlihat perkasa sejak 29 Juni, sebagai respons atas—utamanya dari pemberitaan video Jokowi marah di sidang kabinet.

Cuitan-cuitan dalam nada negatif tersebut terus kuat terjadi hingga akhir pekan, meski volume percakapan kian menurun,” ujar Didik.

Sementara di Facebook, dari total 875 mention, 614 mention bernada positif berbanding 118 negatif. Di Instagram, dari 599 mention, ada 323 mention positif dan 160 yang negatif. Sementara di YouTube, dari 649 mention, ada 537 mention positif dan 47 mention negatif.

Jika dilihat dari aspek ekonomi politik kinerja, menurutnya ada beberapa hal dari Pemerintah Jokowi yang tampak ke permukaan yakni pandemi belum teratasi, merancang defisit APBN sangat tinggi. Jika tidak terkendali bisa mendekati Rp1.000 triliun, defisit sampai 6,27 persen terhadap PDB, ini menjadi rekor utang tertinggi.

Padahal kinerja penyerapan sangat luar biasa rendah, yang berakibat tambahan anggaran sia-sia,” terangnya.

Marah, kata Didik, terjadi karena kinerja rendah dalam penyerapan anggaran kesehatan dan bantuan sosial padahal sangat diperlukan rakyat banyak untuk mengatasi Covid-19.

Konsekuensinya, beban utang sangat besar untuk presiden berikutnya dan generasi yang akan datang membiayai utang dengan utang baru. Selain itu, pemerintah masih belum dapatg meningkatkan efisiensi nasional sepertinterlihat pada ICOR 6,4 sementara pada masa Orde Baru ICOR sekitar 4,0 yang menandakan ekonomi Indonesia semakin tidak efisien

Baru-baru ini Indonesia masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas. Tetapi seperti hiburan saja karena tingkat Indonesia masih sangat jauh untuk bisa melewati pendapatan per kapita US$12.000 atau minilal Rp10.000,” tambahnya.

Menurut Didik, ekonomi Indonesia dengan perilaku pengambil keputusan dan pemimpin seperti sekarang masih akan tetap menjadi negara dengan sekumpulan sektor informal, yang jumlahnya 60 juta dengan tenaga kerja lebih 100 juta orang

Usaha informal ini, tuturnya, memiliki produktivitas yang rendah, belum dapat mengadopsi teknologi modern atau tingkat teknologi rendah, ketrampilan tidak memadai sehingga pendapatan dan kesejahteraannya rendah. Dengan kondisi tingkat kesenjangan sangat tinggi, maka secara sosial politik rentan konflik karena ketegangan golongan bawah dan atas.

Persoalan seperti ini tidak bisa diatasi dengan drama marah di depan publik tetapi dengan manajemen yang bijaksana tetapi cerdas,” tuturnya.







 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper