Bisnis.com, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menduga buronan Djoko Soegiharto Tjandra masuk ke Indonesia dari jalur tikus atau jalur illegal.
Kasus Djoko Tjandra kembali ramai diperbincangkan karena terpidana kasus korupsi Bank Bali itu berhasil mengajukan upaya Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sesuai ketentuan hukum, untuk pengajuan PK maka tersangka harus hadir di pengadilan. Jika Djoko tidak hadir maka sidang PK tidak dapat dilaksanakan.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung, Ali Mukartono mengatakan jika buronan Joko Tjandra masuk ke Indonesia melalui jalur resmi, maka ia akan terdeteksi keberadaannya di sistem Direktorat Jenderal Imigrasi. Namun, menurut Ali, sejak tiga bulan terakhir tidak ada data perlintasan nama DJoko Tjandra ataupun Joko Tjandra masuk ke Indonesia.
"Makanya kalau kemarin mendaftarkan PK, itu Joko Tjandra apa bukan, karena secara formal kan tidak ada data perlintasan dia masuk ke Indonesia. Makanya ini memunculkan spekulasi apakah dia masuk melalui jalur tikus atau tidak, kita tidak tahu. Soalnya lewat jalur resmi kan tidak ada datanya," tuturnya kepada Bisnis, Minggu (5/7).
Ali juga menjelaskan Kejagung telah bekerja sama dengan Interpol, Kepolisian dan Ditjen Imigrasi untuk menyelidiki keberadaan buronan 11 tahun itu. Djoko divonis Mahkamah Agung pada 2009 lalu.
Kejagung menjanjikan aparat penegak hukum akan langsung menangkap buronan korupsi itu setelah mendapatkan informasi keberadaannya.
"Kita sudah buat tim khusus kan. Ada Polisi, Interpol dan Kemenkumham. Semuanya masih menyelidiki keberadaan buronan itu," katanya.
Sebelumnya beredar informasi ihwal penangkapan buronan Djoko Tjandra pada hari Sabtu 27 Juni 2020.
Djoko Tjandra merupakan terdakwa kasus korupsi cassie Bank Bali yang melarikan diri menggunakan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma ke Papua New Guinea.
Pelarian itu dilakukan Djoko sehari sebelum pengumuman putusan dari Mahkamah Agung.
MA memvonis Djoko Tjandra bersalah pada kasus pengalihan tagihan piutang Bank Bali. Kasus Djoko Tjandra bermula dari pengalihan/cessie tagihan PT Bank Bali pada 11 Januari 1999. Djoko sebagai Direktur PT Era Giat Prima disebutkan tidak menyerahkan surat berharga sebagaimana ketentuan. Dalam perkara ini negara disebutkan rugi Rp546,46 miliar.
Setelah serangkaian persidangan, MA kemudian memberikan keputusan final dengan menjatuhi Djoko hukuman 2 tahun penjara. Selain itu, ia harus membayar denda sebesar Rp15 juta dan uang yang disimpan Djoko Tjandra di Bank Bali sebesar Rp54 miliar harus dirampas untuk negara.
Jaksa Agung, saat itu masih dijabat oleh H.M Prasetyo, mengemukakan Kejaksaan Agung telah bekerja sama dengan Interpol dan memberikan red notice untuk Djoko Tjandra yang kini tidak memiliki hak sebagai warga negara mana pun.
Menurut Prasetyo putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah mengabulkan permohonan uji materi Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang diajukan istri terpidana Djoko Tjandra pada 2016 lalu tidak berlaku surut. Artinya tindakan hukum yang dilakukan Kejaksaan sebelum putusan terbit tetap berlaku sesuai undang-undang yang melandasinya.
Beberapa tahun lalu, Pemerintah RI dan PNG telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) terkait perjanjian ekstradisi kedua negara tersebut. Dari pihak Indonesia yang menandatangani nota tersebut adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Amir Syamsuddin.
Perjanjian ekstradisi tersebut diharapkan bisa menjadi jalan keluar dari proses pemulangan Djoko Tjandra yang berlarut-larut.
Pada 2012 Djoko menjadi warga negara Papua Nugini dan mengubah namanya menjadi Joe Chan. Selain itu, Djoko Tjandra juga sempat teridentifikasi tinggal di Singapura. Dia diketahui hanya empat kali mengunjungi PNG pada 2011 menggunakan paspor bernama Joe Chan.
Pada 27 Agustus mendatang, Djoko Tjandra alias Joker, alias Djoker, alias Joe Chan akan genap berusia 70 tahun. Akankah ia massuk bui atau malah bebas di tingkat PK?