Bisnis.com, JAKARTA - Sebelum masa pandemi virus Corona, Bank Dunia menargetkan kemiskinan ekstrem tertekan hingga 3 persen pada 2030, mengikuti penurunan signifikan dalam dua setengah dekade terakhir.
Namun, dengan risiko kontraksi ekonomi dunia dan upaya pemulihan di tahun-tahun mendatang, angka kemiskinan ekstrem terancam jalan di tempat.
Catatan Bank Dunia pada 2018 menunjukkan kemiskinan ekstrem global telah menurun dari 35,6 persen pada 1990 hingga 10,0 persen pada 2015. Adapun miskin ekstrem diukur dengan standar internasional warga berpenghasilan di bawah US$1,90 per hari.
Target tersebut kemudian diterjemahkan PBB dalam Sustainable Development Goals (SDGs) menjadi pengentasan kemiskinan secara total pada 2030. Kini dunia dihadapkan pada tantangan baru yakni krisis ekonomi sebagai dampak pandemi yang memukul pendapatan hampir semua negara.
Pada skenario baseline dimana pandemi diasumsikan teratasi pada akhir tahun ini, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan terkontraksi 5 persen pada 2020.
Sedangkan jika pandemi berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan, pada skenario downside, ekonomi akan terkoreksi hingga 8 persen tahun ini.
Ceyla Pazarbazioglu, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Pemerataan Pertumbuhan, Keuangan dan Institusi, mengatakan kontraksi ekonomi tersebut mengancam 71 juta orang masuk ke jurang kemiskinan ekstrem pada skenario baseline dan 100 juta pada skenario downside.
"Ini adalah resesi pertama sejak 1870 yang dipicu semata-mata oleh pandemi. Mengingat ketidakpastian ini, kemungkinan penurunan ke tingkat yang lebih rendah dari proyeksi ini, sangat mungkin," kata Pazarbazioglu, dilansir Bloomberg, Minggu (28/6/2020).
Ekonomi maju akan menyusut 7 persen, dipimpin oleh kontraksi 9,1 persen di kawasan Euro. ekonomi China tumbuh 1 persen tahun ini, India akan menyusut 3,2 persen, dan AS dapat berkontraksi hingga 6,1 persen.
Adapun negara-negara berkembang dengan kapasitas perawatan kesehatan yang terbatas, rantai nilai global yang sangat terintegrasi, sangat tergantung pada pembiayaan asing, perdagangan internasional, ekspor komoditas dan pariwisata, kemungkinan menjadi yang paling terpukul.
Sementara ekonomi dunia diperkirakan akan pulih ke pertumbuhan 4 persen pada 2021, tidak demikian dengan angka kemiskinan ekstrem. Proyeksi Bank Dunia menunjukkan bahwa jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem tidak akan berubah secara luas dalam rentang 2020 dan 2021.
Hal itu karena sebagian besar penduduk berpenghasilan sangat rendah itu terkonsentrasi di negara-negara yang paling miskin, seperti Nigeria, India, dan Republik Demokratik Kongo. Lebih dari sepertiga orang miskin di dunia merupakan warga ketiga negara tersebut.
Bank Dunia memperkirakan ekonomi tiga negara akan tumbuh berturut-turut -0,8 persen, 2,1 persen, dan 0,3 persen. Dengan pertumbuhan penduduk 2,6 persen, 1,0 persen, dan 3,1 persen per tahun, pertumbuhan ekonomi tersebut hampir tidak cukup untuk membendung pertambahan populasi miskin.
Negara-negara sub-sahara di Afrika sebelumnya diperkirakan menjadi yang paling terpukul jumlah penduduk miskinnya. Namun dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi terbaru, Bank Dunia menyatakan ancaman serius juga membayangi India yang merupakan rumah bagi banyak orang miskin di dunia.
Akibatnya, Asia Selatan diprediksi akan mengalami lonjakan angka kemiskinan ekstrem yang lebih besar karena pandemi.
Sementara itu, setingkat di atas miskin ekstrem yakni warga dengan penghasilan di bawah US$3,20 per hari diperkirakan akan naik 176 juta orang pada skenario baseline. Sedangkan 177 juta orang di Asia Timur dan Pasifik juga terancam masuk kategori miskin dengan penghasilan di bawah US$5,50 per hari.
Pengentasan Kemiskinan Mundur
Christoph Lakner dkk, dalam Global Poverty Monitoring Technical Note, menyatakan jika pertumbuhan semua negara pada 2020 lebih rendah dua poin persentase dari proyeksi Bank Dunia, pandemi akan meningkatkan kemiskinan global sebesar 1,1 poin persentase dan jumlah penduduk miskin akan meningkat sebesar 82 juta.
Sementara jika ketimpangan meningkat sebesar 2 persen pada 2020 di semua negara, maka kemiskinan global akan meningkat sebesar 1,2 poin persentase dan jumlah orang miskin akan meningkat sebesar 94 juta.
Dengan sejumlah skenario yang disusun, tingkat kemiskinan global pada 2030 akan berada pada kisaran 7 persen hingga 8 persen sehingga target pengentasan kemiskinan kemungkinan akan mundur.
"Skenario terakhir akan menyiratkan bahwa upaya global dalam mengakhiri kemiskinan ekstrem akan mundur tiga tahun," tulis Lakner dalam laporannya.
Tingkat kemiskinan global sebagian besar didorong oleh negara-negara sub sahara di Afrika yang memiliki tingkat kemiskinan di atas 30 persen pada 2030, sedangkan wilayah lain di dunia memiliki tingkat di bawah 15 persen.
Lakner menyarankan upaya pemulihan ekonomi yang tetap berbasis mengurangi ketimpangan, atau dalam hal ini menurunkan indeks gini.
Dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi, penurunan indeks gini sebenarnya lebih berdampak pada perubahan angka kemiskinan. Jika setiap negara dapat menurunkan 1 persen indeks gini setiap tahun, tingkat kemiskinan global bisa ditekan menjadi 6 persen pada 2030. Sebaliknya, jika indeks gini naik 1 persen per tahun di semua negara, angka kemiskinan dapat melebar hingga 9 persen pada 2030.
Sementara di sisi lain, jika negara-negara berhasil menerapkan dan memperluas program perlindungan sosial sehingga indeks gini dapat ditekan hingga 2 persen pada 2020, maka jumlah orang miskin ekstrem karena pandemi dapat dipangkas hingga setengahnya menjadi sekitar 30 juta.
"Pertumbuhan yang berpihak pada penduduk miskin sangat penting untuk mencapai tujuan kemiskinan yang ditetapkan oleh komunitas pembangunan global," katanya.