Bisnis.com, JAKARTA - China telah mengejutkan Hong Kong dengan keputusannya untuk memberlakukan undang-undang keamanan nasional di kota itu. Banyak yang khawatir hal tersebut menjadi akhir dari kebebasan Hong Kong.
Aturan tersebut dimaksudkan agar Hong Kong memiliki undang-undang keamanan. China ingin memastikan kota tersebut memiliki kerangka hukum. Berdasarkan undang-undang tersebut China dapat menerapkan sanksi pidana atas pemisahan diri, subversi, dan terorisme.
Kendati begitu, rancangan undang-undang tersebut belum dipublikasikan. Bahkan Chief Executive Hong Kong Carrie Lam mengatakan dia belum melihat teks lengkapnya.
Kemungkinan RUU tersebut akan dikeluarkan akhir Juni. Meski begitu, beberapa rincian telah muncul.
Beijing akan mendirikan kantor keamanan nasional di Hong Kong, yang akan mengumpulkan data intelijen dan menangani kejahatan terhadap keamanan nasional. Kantor ini dapat mengirim beberapa kasus untuk diadili di China daratan.
Selain itu, Hong Kong harus membentuk komisi keamanan nasional sendiri untuk menegakkan hukum, dengan penasihat yang ditunjuk Beijing.
Baca Juga
Hong Kong akan memiliki wewenang menunjuk hakim untuk mendengarkan kasus-kasus keamanan nasional. Biasanya hal tersebut direkomendasi dari komite yang dipimpin Ketua Mahkamah Agung.
Kemudian, hukuman penjara untuk pelanggaran keamanan nasional akan berkisar dari lima hingga 10 tahun.
Menurut Tam Yiu-chung, satu-satunya delegasi Hong Kong di komite China yang menyusun undang-undang,
Beijing akan memiliki kekuasaan atas bagaimana hukum harus ditafsirkan, bukan badan peradilan atau kebijakan Hong Kong.
Jika hukum tersebut bertentangan dengan hukum Hong Kong, hukum Beijing menjadi prioritas
Mengapa orang-orang di Hong Kong takut?
Beijing telah mengatakan Hong Kong harus menghormati dan melindungi hak-hak dan kebebasan sambil menjaga keamanan nasional.Tetapi, banyak yang masih khawatir kehilangan kebebasan Hong Kong dengan undang-undang ini.
"Jelas bahwa undang-undang akan berdampak parah pada kebebasan berekspresi, jika bukan keamanan pribadi, pada orang-orang Hong Kong," kata Profesor Johannes Chan, seorang sarjana hukum di Universitas Hong Kong seperti dikutip BBC, Kamis (25/6/2020).
Ada laporan orang menghapus posting Facebook, dan kekhawatiran bahwa kandidat yang menentang undang-undang keamanan nasional akan didiskualifikasi dari pencalonan dalam pemilihan.
Banyak juga yang takut independensi peradilan Hong Kong akan terkikis, dan sistem peradilannya akan terlihat semakin mirip dengan China daratan. Kota ini adalah satu-satunya wilayah yang memiliki yurisdiksi hukum umum di Tiongkok.
"Secara efektif, mereka memaksakan sistem hukum Republik Rakyat Tiongkok ke sistem hukum umum Hong Kong, meninggalkan mereka dengan kebijaksanaan penuh untuk memutuskan siapa yang akan jatuh ke dalam sistem mana," kata Profesor Chan.
Beberapa aktivis prodemokrasi, seperti Joshua Wong, telah melobi pemerintah asing untuk membantu perjuangan mereka.
Kampanye semacam itu bisa menjadi kejahatan di masa depan. Banyak juga yang khawatir bahwa undang-undang itu mungkin berlaku surut.
Orang-orang juga khawatir bahwa ancaman terhadap kebebasan Hong Kong dapat memengaruhi daya tariknya sebagai pusat bisnis dan ekonomi.
Hong Kong dikembalikan ke China dari kontrol Inggris pada tahun 1997 di bawah kesepakatan yang unik.
China menyepakti sebuah konstitusi mini yang disebut Undang-Undang Dasar dan apa yang disebut prinsip "satu negara, dua sistem".
Di bawah perjanjian yang sama, Hong Kong harus memberlakukan hukum keamanan nasional sendiri. Hal ini diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar. Namun hal itu tidak pernah terjadi karena tidak populer.
Tahun lalu, protes atas undang-undang ekstradisi berubah menjadi kekerasan dan berkembang menjadi gerakan anti-China dan menjadi gerakan prodemokrasi yang lebih luas.China tidak ingin melihat itu terjadi lagi.
Hukum Tiongkok dinilai tidak dapat diterapkan di Hong Kong, kecuali jika terdaftar dalam bagian yang disebut Annex III.