Bisnis.com, JAKARTA - Kurang dari lima bulan menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump tampaknya akan menghadapi tantangan paling berat yang pernah dihadapi Presiden AS ketika kembali mencalonkan diri untuk mempertahankan kekuasaannya.
Pertumbuhan ekonomi yang jeblok dan lebih dari 110.000 warga AS meninggal dunia akibat wabah Covid-19 akan menjadi catatan tersendiri bagi kinerja pemerintahan Trump. Belum lagi aksi protes yang meluas ke hampir semua kota di negara itu akibat tewasnya warga kulit hitam George Floyd di tangan polisi. Kasus itu telah memicu aksi protes di banyak negara termasuk di Eropa.
Kalau melihat sejarah menjelang Pilpres AS 2016, memang Donald Trump sebenarnya memiliki jalan yang sangat sempit untuk menuju kemenangan. Dia berhasil lolos dari lubang jarum lewat mekanisme Badan Elektoral (Electoral College) meski kalah dalam hitungan suara populer (popular vote) dari pesaingnya saat itu, Hillary Clinton.
Kalau pemilu digelar hari ini tentu tidak ada kemungkinan Trump memenangkan mayoritas suara seperti tergambar dalam sejumlah hasil survei. Di negara bagian basis pendukung Partai Demokrat seperti California dan New York, kandidat presiden dari Partai Republik itu bisa kalah lebih dari dua banding satu.