Bisnis.com, JAKARTA – Ahli strategi dan ekonom khawatir bahwa stimulus dengan total nilai US$265 miliar yang dikucurkan Perdana Menteri India Narendra Modi hanya difokuskan untuk meningkatkan likuiditas daripada memulihkan permintaan dalam ekonomi yang terpukul pandemi virus corona.
Hampir setengah dari paket penyelamatan itu atau setara dengan 10 persen dari produk domestik bruto, terdiri atas langkah-langkah moneter yang diumumkan sejak Februari.
Menteri Keuangan Nirmala Sitharaman mengumumkan US$72 miliar fasilitas kredit kepada perusahaan kecil, shadow banking, dan distributor listrik.
Ekuitas berjangka di NSE Nifty 50 Index India yang diperdagangkan di Singapura turun 1,5 persen, Kamis (14/5/2020) setelah saham di ekonomi terbesar ketiga di Asia itu melonjak tajam dalam hampir 2 pekan dalam sesi hari sebelumnya didorong optimisme tentang paket penyelamatan.
Surendra Goyal dan Vijit Jain, analis ekuitas di Citigroup Inc. mengatakan tidak ada peningkatan permintaan yang dihasilkan dari stimulus tersebut.
Menurut mereka sebagaimana dilansir Bloomberg pada Kamis (14/5/2020), belum ada dorongan permintaan yang besar, yang diharapkan oleh pasar ekuitas. Mereka mempertahankan target Nifty sebesar 10.000.
Baca Juga
Sementara itu, Kunal Kundu, ekonom di Societe Generale SA, mengatakan stimulus tidak menyasar bagian masyarakat yang paling rentan yakni buruh migran dan karyawan dari sektor yang tidak terorganisir.
"Kemungkinan akan memperpanjang penderitaan ekonomi, menunda pemulihan permintaan agregat dan berpotensi memperburuk situasi pasokan tenaga kerja," ujar Kunal Kundu.
Di sisi lain, Joseph Thomas, kepala penelitian di Emkay Wealth Management mengatakan langkah-langkah itu lebih condong menyasar penawaran dan sedikit yang ditujukan untuk memperbaiki permintaan.
"Mungkin, pengumuman di masa depan mengandung cakupan permintaan dan faktor sisi penawaran yang lebih seimbang. Faktor sisi permintaan umumnya cenderung bekerja lebih cepat karena berorientasi langsung ke unit konsumen," ucapnya.