Bisnis.com, JAKARTA - Rekomendasi Badan Anggaran (Banggar) DPR kepada Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang sekitar Rp400 triliun - Rp600 triliun bisa menjadi alternatif pembiayaan yang dibutuhkan pemerintah daripada harus menerbitkan global bond.
Hal itu dikemukakan Ketua Banggar DPR Said Abdullah dalam keterangannya kepada wartawan terkait wacana yang menjadi perhatian publik itu di tengah dampak wabah Covid-19 yang telah mendera keuangan negara.
"Bukankah dengan hasil cetak uang dapat ditawarkan ke perbankan, pemerintah dan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) dengan yield yang lebih rendah daripada global bond. Saya merekomendasikan yield pada kisaran 2-2,5 persen. Melalui kebijakan ini, pemerintah akan memiliki beban bunga yang lebih rendah," kata Said, Senin (11/5/2020).
Dia mengatakan, Banggar DPR telah merekomendasikan kepada Bank Indonesia (BI) untukmencetak uang sekitar Rp400 triliun - Rp600 triliun untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan pemerintah dan LPS serta likuiditas perbankan.Kebijakan tersebut bisa meningkatkan inflasi, namun kata Said, BI bisa memitigasi melalui berbagai instrumen, seperti BI 7-day Reverse Repo Rate dan Giro Wajib Minimum (GWM).
"Bank Indonesia harus mengambil langkah berani dan memiliki breakthrough (terobosan). Sebab bila mengandalkan kebijakan konvensional, maksimal hanya meredam tekanan terhadap pasar keuangan, tetapi tidak mampu menyuplai optimal kebutuhan likuiditas," ujarnya.
Dia menyebutkan, langkah terobosan tersebut merupakan bentuk sharing pain BI terhadap situasi krisis, sehingga bank sentral tidak semata mata menikmati untung akibat selisih kurs dan bunga pinjaman. "Tetapi, bersama-sama ikut merasakan situasi krisis yang dihadapi oleh segenap rakyat," katanya.
Baca Juga
Said mengungkapkan, rekomendasi Banggar atas langkah terobosan itu didasari oleh sikap pemerintah yang telah mengusulkan perubahan APBN 2020 kepada DPR. Desain makro APBN 2020, pendapatan negara dipatok menurun menjadi Rp1.760,9 triliun dari semula Rp2.233,2 triliun dan belanja negara naik menjadi Rp2.613,8 triliun dari Rp2.540,4 triliun.
Perubahan ini berkonsekuensi pada melebarnya angka defisit APBN menjadi Rp853 triliun (5,07 persen) dari senilai Rp307,2 triliun (1,76 persen).
Dengan begitu, menurut Said, untuk menjalankan desain APBN 2020 ini pemerintah dan otoritas keuangan akan menghadapi tantangan berat, seperti pemerintah harus bisa memenuhi kebutuhan pembiayaan dengan mengandalkan dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp654,5 triliun.
Maka, hal tersebut harus ditempuh pemerintah untuk menambal defisit APBN sebesar 5,07 persen yang berakibat pada menyempitnya ruang fiskal pemerintah dan akhirnya rencana berutang menjadi pilihan.
Pada situasi ekonomi domestik dan global mengalami slowing down, menurut Said, pemerintah berharap masih banyak investor yang berminat dengan global bond. Hingga 3 April 2020, justru banyak investor non residen melepas SBN senilai Rp135,1 triliun, sehingga keadaan ini akan menjadi tantangan pemerintah.