Bisnis.com, JAKARTA - SoftBank Group Corp. memperkirakan kerugian operasional sebesar 1,35 triliun yen atau US$12,5 miliar untuk tahun fiskal yang berakhir Maret 2020. Angka kerugian itu merupakan yang terbesar sejak perusahaan Jepang itu melantai ke bursa pada 1994.
Sedangkan kerugian bersih diperkirakan sebesar 750 miliar yen. Dari Vision Fund, Softbank memperkirakan kerugian sebesar 1,8 triliun yen dan 800 miliar yen lainnya dari investasi SoftBank sendiri.
Selain itu, penjualan sepanjang tahun fiskal lalu diperkirakan akan turun sekitar 36 persen menjadi 6,15 triliun yen setelah SoftBank menghapus unit Sprint Corp dari neraca untuk memperhitungkan merger dengan T-Mobile US Inc.
Softbank diketahui berinvestasi di sejumlah perusahaan rintisan termasuk startup coworking space WeWork dan operator satelit OneWeb, yang melaporkan kebangkrutan bulan lalu. Saham SoftBank turun sebanyak 4,2 persen menjadi 4,025 yen di Tokyo hari ini.
Perusahaan milik konglomerat Mayoshi Son ini bergantung pada investasi yang ditanamkan di startup berbasis sharing-economy, seperti coworking space atau taxi online. Namun, investasi tersebut sangat terpukul ketika pandemi virus Corona membatasi interaksi masyarakat.
"Ini semakin mirip badai sempurna untuk SoftBank. Pertanyaannya adalah apakah akan ada lagi yang akan datang," kata Justin Tang, kepala Riset Asia di United First Partners, dilansir Bloomberg, Selasa (14/4/2020).
Baca Juga
Berdasarkan laporan pendapatan sebelumnya, Vision Fund diperkirakan mencatatkan aset senilai 1 triliun yen pada kuartal Maret. SoftBank tidak memerinci semua startup yang terpukul.
Sementara itu, investor menjadi semakin ketakutan tentang stabilitas grup bisnis Son dan Vision Fund yang bernilai US$100 miliar di tengah wabah virus. Saham anjlok lebih dari 50 persen dari puncaknya tahun ini. Sementara credit default swap Softbank melonjak ke level tertinggi dalam sekitar satu dekade.
Son juga mendapat tekanan yang tidak biasa dari beberapa investor. Investor A. Elliott Management Corp mengambil saham besar di perusahaan, mengadvokasi perubahan tata kelola dan praktik investasi.
Miliarder itu menanggapi dengan strategi melepas untuk sebagian dari kepemilikannya dan menurunkan aset sekitar US$41 miliar untuk membeli kembali saham dan melunasi utang. SoftBank berencana untuk menjual sekitar US$14 miliar saham Alibaba Group Holding Ltd. sebagai bagian dari upaya itu
"Ini hanya akan membuat penjualan aset semakin mendesak bagi SoftBank," kata Koji Hirai, kepala M&A di perusahaan penasihat Kachitas Corp di Tokyo.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan sekitar bulan lalu ketika Son menyoroti lonjakan besar pada saham Uber Technologies Inc., salah satu perusahaan milik Softbank. Dia menjelaskan bahwa perusahaannya kemungkinan akan dapat membukukan laba dan menyatakan WeWork siap untuk kembali. Namun, wabah virus corona menghancurkan rencana itu.
Startup lain yang mengalami pukulan yakni Oyo, layanan pemesanan hotel dimana SoftBank menginvestasikan sekitar US$ 1,5 miliar. Model bisnisnya telah terhempas saat perjalanan global berhenti. Bulan ini, Ritesh Agarwal, pendiri dan CEO Oyo mengatakan perusahaan memangkas karyawan di luar India.
Situasi menjadi lebih rumit karena Agarwal meminjam sekitar US$2 miliar untuk membeli lebih banyak saham di perusahaannya sendiri. Son secara pribadi menjamin pinjaman itu.
Praktik akuntansi kontroversial SoftBank telah memperburuk volatilitas pendapatannya. Vision Fund membukukan keuntungan pada startup ketika valuasinya naik, meskipun keuntungannya hanya di atas kertas dan tidak ada saham yang dijual. WeWork dan Oyo berkontribusi pada keuntungan di awal masa pendanaan saja.
Kini Vision Fund yang dinyatakan Son sebagai masa depan perusahaannya, mencatatkan kerugian yang menyebabkan koreksi pada valuasi. Vision Fund telah kehilangan total 240 miliar yen sejak SoftBank mulai mengumumkan keuntungan perusahaan itu.