Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perang Harga Minyak Berakhir Jadi Kesepakatan Bersejarah OPEC+

Berakhirnya perang harga minyak ini disebut sesuatu yang bersejarah. Namun, pasar nampaknya bereaksi biasa saja, mengingat kondisi ekonomi yang lesu akibat virus Corona.
Kilang Minyak/Bloomberg
Kilang Minyak/Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Organisasi Negara Pengekspor Minyak Dunia (OPEC+) sepakat untuk memangkas produksi sebesar 9,7 juta barel per hari, maraton negosiasi selama sepekan berakhir dengan pakta untuk mengatasi dampak pandemi pada permintaan global.

Pasar tampaknya juga telah menunggu hasil positif dari perundingan anggota OPEC+ dengan G20, yang digambarkan Goldman Sachs Group Inc. sebagai kejadian bersejarah, namun belum cukup untuk memberikan dampak.

"Kami menunjukkan bahwa OPEC+ ada dan baik-baik saja. Saya sangat senang dengan kesepakatan itu," ujar Menteri Energi Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman, seperti dikutip melalui Bloomberg, Senin (13/4).

Salah satu biggest losers dari kesepakatan ini adalah Rusia yang setuju untuk memangkas produksi hingga 2,5 juta barel, lebih banyak dari Arab Saudi.

Dilansir Bloomberg, pasar tidak begitu antusias dengan kabar ini, dengan perdagangan minyak hanya menunjukkan sedikit perubahan. Fokus pasar sekarang bergeser ke apakah pemotongan akan cukup untuk mengimbangi pasokan yang melimpah dan terus bertambah ketika pandemi virus Corona mematikan ekonomi global.

"Kesepakatan itu bisa jadi hanya bersifat sementara, seperti plester pada luka terbuka," kata konsultan JBC Energy GmbH dalam sebuah catatan.

Meskipun skeptis, perjanjian tersebut masih merupakan kemenangan penting bagi aliansi antara OPEC+ dan sekutunya termasuk Rusia.

Ini bukan negosiasi yang mudah, mengingat prosesnya sempat hampir hancur berantakan pada akhir pekan lalu akibat perlawan dari Meksiko.

Produsen minyak utama dunia bangkit dari ambang keruntuhan setelah dilakukan pertemuan diplomasi mendesak di akhir pekan dan intervensi Presiden AS Donald Trump yang membantu menengahi negosiasi terakhir.

"Belum pernah terjadi sebelumnya dalam diskusi historis tentang pemotongan produksi, AS memainkan peran penting dalam perantara antara Arab Saudi dan Rusia untuk kesepakatan baru OPEC+," ujar Ed Morse, Kepala Peneliti Komoditas di Citigroup Inc.

Pandemi ini telah melumpuhkan hampir semua kegiatan perjalan udara dan darat, menekan permintaan bensin, bahan bakar jet hingga diesel.

Kondisi ini dikhawatirkan akan mengancam industri minyak serpih (shale) AS, stabilitas negara-negara yang bergantung pada minyak dan menekan aliran petrodolar pada ekonomi global yang tercekik.

Selain perjanjian OPEC+, produsen minyak G20 akan berkontribusi pada pengurangan output mereka sendiri, tetapi langkah-langkah tersebut tidak setara dengan pemotongan langsung yang dijanjikan oleh kartel.

Produksi yang menurun karena efek harga rendah di AS, Brasil dan Kanada akan dihitung, memperdalam pengurangan pasokan global sebesar 3,7 juta barel per hari, dengan negara-negara G20 lainnya memberikan kontribusi 1,3 juta.

Pembatasan produksi bisa memakan waktu berbulan-bulan atau lebih dari satu tahun untuk menunjukkan efeknya atau bahkan mungkin tidak memberikan dampak signifikan jika harga minyak beranjak pulih.

Namun, keterlibatan negara-negara G20 yang biasanya menjadi kritis terhadap OPEC+ secara politis cukup signifikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Nirmala Aninda
Editor : Andya Dhyaksa
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper