Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah pihak mempertanyakan rencana revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Konstitusi (MK). RUU yang hanya mengubah soal batasan umur hakim konstitusi dan masa jabatan dinilai tidak substantif dan tidak relevan dengan kebutuhan MK.
Pada pasal 4 draf revisi itu mengatur tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK selama lima tahun. Poin ini akan mengubah pasal serupa dalam UU Nomor 8/200 tentang Perubahan atas UU Nomor 24/2003 yang menyatakan bahwa masa jabatan ketua dan wakil ketua adalah 2 tahun 6 bulan.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan bahwa isi dari draf RUU MK ini dinilai tidak relevan dengan prospek kondisi politik dan penanganan perkara yang akan terjadi ke depannya.
“Mereka terkesan melakukan pilih-pilih untuk menguntungkan beberapa pihak saja,” katanya dalam konferensi video pada Senin (13/4/2020).
Selain itu, RUU tersebut juga akan mengubah syarat menjadi hakim konstitusi. Dalam UU sebelumnya, usia minimal hakim konstitusi adalah 47 tahun. Pada RUU terbaru, batas usia minimal untuk menjadi hakim konstitusi adalah 60 tahun.
Draf RUU juga menghapus Pasal 22 UU nomor 23/2004 tentang masa jabatan hakim konstitusi. Pasal tersebut menyebutkan, masa jabatan hakim konstitusi adalah selama 5 tahun dan dapat dipilih untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Baca Juga
Ketentuan tersebut diganti dengan Pasa 87 huruf (c) yang menyatakan apabila hakim konstitusi pada saat jabatannya berakhir seperti dimaksud pada huruf (b) telah berusia 60 tahun, maka hakim tersebut akan meneruskan jabatannya hingga usia 70 tahun.
Donal melanjutkan, batasan umur yang ada pada draf tersebut bertolak belakang dengan kemungkinan jumlah perkara yang akan muncul ke depannya. Pasalnya, pada 2020 ini, Indonesia akan melakukan Pilkada di sejumlah wilayah yang berpotensi memunculkan banyak perkara yang dibawa ke MK. Menurutnya, DPR tidak memberikan alasan rasional dibalik rencana perubahan batasan usia minimal tersebut terkait dengan penanganan perkara yang akan masuk.
Selain itu, rencana DPR yang ingin mempercepat pembahasan RUU ini dinilai sebagai manuver politik dari anggota dewan. Menurutnya, anggota dewan “melobi” para hakim MK apabila RUU kontroversial lain seperti RUU Cipta Kerja, RUU KUHP, atau RUU Pemasyarakatan akan digugat ke MK.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera Bivitri Susanti menambahkan, penentuan kualitas hakim dan putusannya tidak hanya dapat dilihat dari usianya. Menurutnya, masih ada sejumlah indikator utama lain yang dapat menentukan kapabilitas hakim konstitusi seperti rekam jejak dan pengalaman penanganan perkara.
Bivitri melanjutkan draf RUU MK juga tidak substantif. Pasalnya, isi dari RUU tersebut tidak memperbaiki atau mengubah poin dari masalah yang perlu dibenahi dari lembaga MK saat ini.
“Akan lebih baik bila isi dari RUU ini mengatur tentang perbaikan institusional yang diperlukan MK,” pungkasnya.