Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jangan Pernah Bosan Belajar Dari China

Di China memang tidak ada hiruk pikuk pemilihan presiden, kepala daerah hingga anggota legislatif yang merupakan sebuah pesta demokrasi tertinggi bagi Indonesia, dengan berbagai catatan merah, kuning, dan hijau di belakangnya.
Presiden China Xi Jinping  menuju ke Rumah Sakit (RS) Huoshenshan setelah tiba di Wuhan untuk melakukan kunjungan inspeksi, Selasa (10/3/2020). Wuhan merupakan kota di Provinsi Hubei yang menjadi pusat penyebaran Virus Corona atau Covid-19. Foto: Antara dari Xinhua
Presiden China Xi Jinping menuju ke Rumah Sakit (RS) Huoshenshan setelah tiba di Wuhan untuk melakukan kunjungan inspeksi, Selasa (10/3/2020). Wuhan merupakan kota di Provinsi Hubei yang menjadi pusat penyebaran Virus Corona atau Covid-19. Foto: Antara dari Xinhua

Bisnis.com, JAKARTA – “Kami ingin belajar dari Anda.” Itulah kalimat singkat yang meluncur dari mulut pemimpin China, Deng Xiaoping saat berkunjung ke pabrik Ford diluar Atlanta, Amerika Serikat pada 1979.

Saat ini pabrikan otomotif global tersebut memproduksi lebih banyak mobil di pabrik itu dalam sebulan dibandingkan dengan semua yang diproduksi China dalam setahun.

Empat dekade kemudian, negeri Panda dilanda malapetaka. Berawal dari kota Wuhan di Provinsi Hubei yang terjangkit wabah virus corona (COVID-19). Singkatnya, wabah ‘lokal’ yang telah menjelma menjadi pandemi ini dunia benar-benar menimbulkan gelombang baru disrupsi. Dunia menjadi sesak dibuatnya. Sampai hari ini.

Berbagai jurus dan strategi stimulus gencar dikeluarkan oleh pemerintah dimana-mana dengan anggaran raksasa. Nyawa dan ekonomi harus diselamatkan dari kehancuran massal.

Lalu, 8 April lalu muncul lagi kabar dari Wuhan. Kabar gembira. Kabar suka cita. Lockdown terhadap kota itu yang diberlakukan sejak 23 Januari resmi dicabut. Pergerakan massif manusia, barang, jasa hingga moda transportasi cepat khas China kembali bergerak.

Pesan apa yang bisa kita petik? Tentu saja pelajaran berharga. Selama sekitar 11 pekan lockdown diterapkan secara efektif untuk mengusir wabah di pusat kemunculannya. Kini warganya dapat menghirup angin segar lagi. Korban memang berjatuhan. Tanpa semua itu, entah apa jadinya Wuhan dan kota-kota lainnya di China.

Dari sini saja kita bisa belajar mengenai keseriusan pemerintah dalam menangani kondisi darurat akibat pandemi. Bagaimana di negara lain? Siapa yang bisa dikatakan sangat sigap, sigap atau sangat tidak siap dengan melihat misalnya tingkat penyebaran, pasien positif, dan pasien sembuh? Ini semua tentu tidak dapat dilepaskan dari kebijakan, hukum, dan efektivitas implementasinya.

Stimulus sebesar apapun rasanya juga tidak akan efektif bila tidak dibarengi dengan gerak langkah yang padu di semua lini untuk menjadikannya sebagai obat mujarab di lapangan.

Kembali lagi ke era Deng. Pada 1979 Sang Naga sangat menyadari bahwa dirinya baru setengah jalan, sehingga masih perlu melakukan koreksi, perbaikan, dan penambahan. “Keyakinan ini membentuk China menjadi masyarakat pembelajar. Mereka terbuka dengan semua teori atau praktik yang bermanfaat bagi tujuannya.” Demikian John dan Doris Naisbitt dalam buku mereka berjudul China’s Megatrends.

Lalu apa hasilnya? Dalam kolomnya di New York Times edisi 4 Juli 2009, David Brooks mengemukakan bahwa dewasa ini tidak mungkin berpikir mengenai Amerika dan peran masa depannya di dunia tanpa juga berpikir mengenai China.

Proses menuju kesetaraan di panggung ekonomi global tersebut tentu saja berkat belajar cepat dan bekerja cerdas. Untuk meraih tujuan berubah dari ‘bengkel kerja dunia’ menjadi inovator teknologi baru dunia, China memproteksi perusahaan-perusahaannya dengan membatasi kepemilikan asing. “Dan sekaligus memperkuat korporasi China dengan menciptakan persaingan sengit ala hukum rimba di antara mereka,” kata John dan Doris Naisbitt.

Setelah era Deng Sang Reformis, setelah empat dekade berproses, Sang Naga menjelma sebagai kekuatan ekonomi global terbesar kedua. Bukan lagi Jerman sebagai jagonya ekspor dunia. Alhasil, pencapaian eksponensial ini membawa China ke posisi yang kuat dalam menentukan syarat-syarat politik dan ekonomi bagi perusahaan Barat yang ingin mendapatkan akses ke pasarnya yang sangat luas.

Memang tidak ada hiruk pikuk pemilihan presiden, kepala daerah hingga anggota legislatif yang merupakan sebuah pesta demokrasi tertinggi bagi Indonesia, dengan berbagai catatan merah, kuning, dan hijau di belakangnya. Bagi China, cukup satu organ saja yang mengatur semuanya: Partai Komunis.

Deng menggarisbawahi hal ini pada 1992. “Rakyat China harus berpegangan pada fondasi dasar Partai tanpa goyah selama seratus tahun.”


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Inria Zulfikar
Editor : Inria Zulfikar

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper