Bisnis.com, JAKARTA - Tim Pakar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) menilai pemerintah setengah hati dalam menjalankan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mengantisipasi meluasnya penyebaran virus corona jenis baru atau COVID-19 di Tanah Air.
Hal itu tecermin dari keputusan pemerintah yang tetap memperbolehkan masyarakat untuk mudik di tengah pandemi COVID-19. Alih-alih mengeluarkan larangan, pemerintah hanya akan menetapkan pemudik sebagai orang dalam pengawasan (ODP) yang wajib mengarantina dirinya selama dua pekan setibanya di kampung halaman masing-masing.
Anggota Tim Pakar FKM UI Pandu Riono menyebut pemerintah tidak memahami sepenuhnya apa yang dimaksud dengan konsep PSBB. Menurutnya, upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah meluasnya penyebaran COVID-19 masih setengah hati, lantaran belum ada langkah intervensi yang membatasi aktivitas dan mobilitas masyarakat.
"Mudik itu jelas-jelas melanggar konsep PSBB, seharusnya dicegah, dilarang, atau dibatasi. Pemerintah ini masih setengah hati untuk [menjalankan] PSBB. Dari skala 1-100 mungkin saat ini upaya pemerintah itu masih di angka 10. Mobilitas masyarakat tak dibatasi. Langkah pencegahan juga perlu dipertanyakan, mengapa setelah ada kerumuman baru dibubarkan bukan dicegah dari awal? Sebelum dibubarkan itu kesempatan virus menyebar," katanya ketika dihubungi oleh Bisnis.com pada Kamis (2/4/2020).
Lebih lanjut, menurut Pandu, pemerintah sejak awal tidak paham upaya yang harus dilakukan untuk menangani pandemi Covid-19. Hal tersebut terlihat dari istilah pembatasan fisik (physical distancing) yang menggantikan istilah pembatasan sosial (social distancing).
"Kalau seperti itu diartikan masyarakat boleh kumpul-kumpul tetapi berjarak. Padahal walaupun orang-orang itu berjarak tetapi berada di ruang yang sama seperti contoh di dalam bus AC ketika mereka mudik itu tetap saja ada potensi penyebaran virusnya. Berkumpulnya manusia di satu ruang walaupun berjarak itu tetap ada potensi," ungkapnya.
Adapun, menurut Pandu, jika pemerintah masih bersikukuh tidak melarang mudik yang perlu diperhatikan adalah pendataan setiap pemudik yang datang ke suatu daerah. Selain itu, alangkah baiknya jika mereka terlebih dahulu dikarantina selama dua pekan sebelum kembali ke rumahnya masing-masing,
"Harus dicatat kontak mereka, dua minggu diisolasi rumah. Tetapi lebih baik jika disiapkan tempat karantina sebelum mereka kembali ke rumah. Karena saat ini 90% pengidap COVID-19 hanya mengalami gejala ringan atau sama sekali tidak bergejala. Mereka jadi carrier, nantinya bisa menulari ke keluarganya di kampung halaman terutama orang-orang lanjut usia yang rentan," tuturnya.
Pandu menambahkan apabila pemerintah tidak sepenuhnya menjalankan kebijakan PSBB, maka pandemi COVID-19 di Tanah Air bisa makin lama dan jumlah kasus positif yang terakumulasi makin besar. Tentu yang menjadi kekhawatiran adalah kapasitas fasilitas medis yang digunakan untuk penanganan pasien COVID-19.
"Fasilitas medis ini yang dikhawatirkan. Perlu diingat pasien positif COVID-19 ini tidak bisa dibiarkan keleleran di lorong-lorong rumah sakit. Mereka harus diisolasi, dipisahkan dari pasien penyakit lainnya. Oleh karena itu, sebaiknya di tiap daerah disiapkan satu rumah sakit khusus untuk pasien positif COVID-19 seperti di Wisma Atlet. Janganlah digabungkan," tutupnya,