Bisnis.com, JAKARTA — Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia, Justitia Avila Veda, mengingatkan pemerintah agar tidak salah prioritas ihwal sasaran tes cepat (rapid test) terkait usaha pencegahan penyebaran virus Corona (Covid-19).
Justitia mengatakan, yang lebih diprioritaskan justru tenaga medis yang berinteraksi langsung dengan pasien positif virus Corona.
“Negara jangan sampai salah sasaran. Pejabat, termasuk anggota-anggota DPR serta pihak lain yang memiliki privilese untuk meminimalisasi risiko, sebaiknya menahan diri dan tidak menuntut didahulukan dalam tes tersebut," kata Justitia melalui pesan tertulis yang diterima Bisnis, Jakarta, pada Sabtu (28/3/2020).
Jika abai, Justitia menggarisbawahi, maka negara berpotensi melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap kelompok-kelompok rentan itu.
"Selain itu, para tahanan dan warga binaan pemasyarakatan (WBP) juga berhak atas prioritas, karena interaksi intens antar WBP dalam ruang yang terbatas dapat meningkatkan kerentanan penularan virus. Kelompok-kelompok inilah yang harus menjadi prioritas dalam pelaksanaan rapid test,”ujarnya.
Ia mengimbau pemerintah dalam usaha percepatan penanggulangan Covid-19 tetap berdasar pada hukum internasional dan standar hak asasi manusia. Negara, menurutnya, harus sadar akan dampak HAM dari penanganan virus ini.
Khususnya, ia mengimbuhkan, pada kelompok tertentu dan memastikan kebutuhan dan keselamatan mereka sepenuhnya dipertimbangkan.
Lima organisasi kesehatan di antaranya Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) melayangkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo, Selasa (24/3/2020) lalu.
Surat terbuka itu berisikan desakan kepada pemerintah untuk memprioritaskan perlindungan bagi tenaga medis yang saat ini tengah merawat pasien Covid-19 dengan APD yang terbatas.
Sementara itu, pada Jumat (27/3/2020) kemarin, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mulai menyuarakan protes untuk mogok kerja. Mereka mengeluhkan lemahnya perlindungan negara terhadap para tenaga medis maupun tenaga kesehatan.
Hingga saat berita ini dibuat, sudah terdapat 1.155 orang yang dinyatakan positif terinfeksi virus corona di Indonesia, sebanyak 102 orang meninggal dunia, sementara 59 dinyatakan sembuh.
Data pengamatan Amnesty menunjukan, setidaknya ada 10 dokter yang meninggal dunia terkait virus corona, baik karena positif terinfeksi maupun karena kelelahan menangani pasien corona. Terdapat pula 2 orang perawat yang meninggal dunia karena positif terinfeksi virus tersebut.
“Dengan surat itu kami ingin menegaskan bahwa perlunya bertindak mengobati dan mengurangi penyebaran virus adalah kewajiban negara dalam menjamin hak asasi manusia. Perlunya kehati-hatian menangani masyarakat yang rentan adalah kewajiban negara atas perlindungan HAM. Lindungilah garda depannya, yaitu para tenaga kesehatan,” jelasnya.
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M Faqih membenarkan adanya pengakuan dari sejumlah tenaga medis yang mulai merasa kelelahan ataupun terbatasnya APD. Menurutnya, perlu ada penambahan rumah sakit yang signifikan untuk mengimbangi lonjakan pasien terkait Covid-19.
“Kami sudah menyampaikan langsung ke Menteri Kesehatan dan kepala BNPB [Badan Nasional Penanggulangan Bencana] sebagai ketua gugus tugas percepatan penanganan Covid-19," ungkapnya.