Bisnis.com, JAKARTA - Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman baru saja memulai perang harga minyak. Namun, senjata untuk menyerang Rusia ini bisa jadi berbalik menjadi bumerang bagi Arab Saudi.
Jika harga minyak gagal pulih dan bertahan di angka kurang dari setengah yang dibutuhkan Arab Saudi untuk menyeimbangkan anggaran, ekonomi jadi taruhannya. Hal itu karena sektor energi menyumbang sekitar 80 persen dari ekspor kerajaan dan dua pertiga dari pendapatan fiskal.
Jika benchmark minyak mentah global, Brent tetap pada level US$35 per barel tanpa penyesuaian dalam pengeluaran, akan Arab Saudi akan mengalami defisit hampir 15 persen dari output ekonomi tahun ini.
Menurut Abu Bank Komersial Dhabi, cadangan devisa Arab Saudi dapat habis dalam waktu sekitar lima tahun kecuali ada sumber pendanaan lain. Sedangkan Goldman Sachs Group Inc. melihat kekurangan fiskal tahun ini yang mencapai hampir 12 persen, meningkatkan persyaratan pembiayaan pemerintah sebesar US$36 miliar untuk tahun ini.
"Saudi telah mengakumulasikan cadangan signifikan yang akan memungkinkannya melewati periode harga rendah yang berkepanjangan, tetapi ini mungkin memakan biaya," kata Tarek Fadlallah, kepala eksekutif unit Timur Tengah dari Nomura Asset Management di Dubai, dilansir Bloomberg, Selasa (10/3/2020).
Sementara itu, pemerintah menargetkan defisit fiskal 6,4 persen dari produk domestik bruto tahun ini dengan asumsi bahwa Brent berada di angka rata-rata sekitar US $65 per barel. Sedangkan dibutuhkan harga minyak hampir US $84 per barel untuk menyeimbangkan anggaran tahun ini.
Baca Juga
Beratnya guncangan minyak pada saat penyebaran wabah virus corona yang melumpuhkan permintaan energi global mungkin menggeser perhitungan ekonomi Arab Saudi. Pasar telah memberikan putusannya, dengan obligasi dan saham Saudi terpukul pada Senin (10/3/2020).
Untuk mengurangi tekanan pada keuangannya, Arab Saudi dapat beralih ke pasar utang. Kurang dari dua bulan lalu, AS mengeluarkan US$5 miliar utang sebagai bagian dari rencana untuk menutup defisit anggarannya yang meningkat dengan menjual sekitar US$32 miliar mata uang lokal dan utang internasional selama tahun berjalan.
Menurut Steffen Hertog, seorang spesialis Teluk di London School of Economics, ketika pemerintah mengalami peningkatan defisit anggaran bahkan pada harga minyak yang lebih tinggi, Arab Saudi membutuhkan cadangan mata uangnya untuk memungkinkan penyesuaian kebijakan fiskal secara bertahap,
"Arab Saudi memiliki cadangan fiskal dan mata uang yang lebih besar sehingga dapat menahan harga rendah untuk sementara waktu, tetapi cadangannya sekitar sepertiga lebih kecil daripada 2014 selama jatuhnya harga minyak terakhir, sehingga perang harga yang berlarut-larut akan merugikan," jelasnya.