Bisnis.com, JAKARTA - Rusia sedang menyiapkan serangan balik pada perang harga minyak dengan Arab Saudi. Kementerian Keuangan Rusia kemungkinan dapat mengucurkan US $150 miliar untuk memompa rubel karena mata uang dari eksportir energi terbesar dunia itu merosot paling dalam.
Dalam tindakan darurat yang diumumkan hari ini, Kementerian Keuangan mengatakan akan mulai menjual mata uang asing jika harga minyak tetap di bawah US $42,40 per barel. Bank sentral mengatakan akan menghentikan pembelian mata uang asing di bawah aturan anggaran pemerintah, yang dirancang untuk mengurangi kerentanan rubel terhadap perubahan harga minyak.
"Cadangan kekayaan minyak Rusia di National Wellbeing Fund atau NWF cukup menutupi kehilangan pendapatan jika harga minyak turun menjadi US $25 hingga US $30 per barel selama enam hingga sepuluh tahun," kata Kementerian Keuangan dalam pernyataannya, dilansir Bloomberg, Senin (9/3/2020).
Bank sentral mengatakan sedang memantau pasar keuangan dan siap untuk menggunakan langkah-langkah tambahan untuk menjaga stabilitas rubel. Keputusan untuk melanjutkan pembelian mata uang asing akan dibuat berdasarkan kondisi pasar aktual pada bulan Maret.
Pada 1 Maret 2020, volume aset likuid NWF dan pendapatan minyak dan gas tambahan mencapai lebih dari 10,1 triliun rubel (US $150,1 miliar) atau 9,2% dari PDB. Dana ini cukup untuk menutupi kekurangan pendapatan dari penurunan harga minyak menjadi US $25 hingga US $30 per barel.
Sementara itu, jika volume aset likuid NWF berkurang di bawah 5 persen dari PDB, penggunaan tahunan sumber daya IMF untuk menutupi defisit anggaran federal dan anggaran Dana Pensiun Federasi Rusia tidak boleh melebihi jumlah setara dengan 1 persen dari PDB.
Di sisi lain, setidaknya empat refiner di Asia telah menaikkan daya beli ke batas maksimum atas minyak mentah Arab Saudi yang telah diobral, sejak kerajaan memangkas harga ekspor dan mengisyaratkan peningkatan output selama akhir pekan setelah runtuhnya kesepakatan OPEC+.
Direktur Minyak Asia di konsultan FGE Sri Paravaikkarasu mengatakan peningkatan pasokan dari Timur Tengah akan melumpuhkan AS dan pasokan minyak Rusia ke pasar baru seperti India.
Para analis menilai Saudi mampu menghadapi harga minyak yang rendah lebih baik daripada produsen lain karena memiliki biaya produksi rata-rata terendah. Namun, para produsen dengan biaya yang lebih tinggi, seperti AS, diperkirakan akan rugi besar di tengah perang harga ini.
"Level harga seperti itu akan mulai menciptakan tekanan keuangan akut dan penurunan produksi dari shale serta produsen berbiaya tinggi lainnya," kata analis dari Goldman Sachs dalam sebuah catatan.