Bisnis.com, JAKARTA – Peneliti berbeda pandangan terkait hak cuti melahirkan dan menyusui selama enam bulan bagi ibu yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga. Kendati demikian, peneliti sepakat regulasi itu belum diperlukan publik.
RUU Ketahanan Keluarga mengatur tentang sejumlah ketentuan dalam keluarga, termasuk bagi ayah, ibu, anak maupun orang tua lanjut usia. Draf tersebut salah satunya menerangkan hak cuti melahirkan dan menyusui selama 6 bulan pada pasal 29 ayat 1 (a).
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Augustina Situmorang mengatakan dari survei yang dilakukan, pekerjaan ibu tidak memberikan pengaruh signifikan pada pemberian hak yang diterima bayi termasuk mendapatkan ASI eksklusif.
Adapun 6,1 persen ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada anak karena bekerja. 62,7 lainnya tidak memberikan ASI bukan karena persoalan pekerjaan, akan tetapi lantaran ASI tidak keluar untuk diberikan kepada bayi.
Augustina menilai pasal ini juga menjadikan kesempatan kerja perempuan untuk mendapatkan kedudukan strategis menjadi lebih kecil. Pasalnya, karir wanita dinilai tidak berlanjut selama 6 bulan karena cuti tersebut.
“Kesempatan kerja perempuan untuk mendapatkan kesempatan kedudukan strategis dalam pekerjaannya. Sementara dalam hasil penelitian pekerjaan, ibu yang bekerja tidak,” katanya di Kantor LIPI, Jakarta, Jumat (6/3/2020).
Baca Juga
Paparan tersebut berbeda dengan peneliti dari Pusat Penelitian Politik LIPI Kurniawati Hastuti Dewi. Kata dia, hak cuti cukup diperlukan bagi ibu. Hal ini karena curi 6 bulan adalah hak seorang ibu yang baru melahirkan, serta hak bayi mendapatkan ASI dari orang tua.
Dia menyebut di sejumlah negara Skandinavia dan Eropa telah menerapkan cuti 1 – 2 tahun untuk ibu yang melahirkan. Bagi kalangan yang menggunakan perspektif hak asasi manusia, aturan itu merupakan bentuk kepedulian untuk bayi.
“Itu hak juga bagi seorang bayi. Kalau saya prinsip yang saya pegang pertama jangan melanggar CEDAW. Jangan ada diskriminasi sebagai ibu maupun perempuan,” terangnya.
CEDAW adalah kependekan dari Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women.
Kendati menyampaikan hasil survei berbeda, keduanya sepakat untuk tidak memprioritaskan diundangkannya RUU Ketahanan Keluarga. Kurniawati bahkan menilai sebelum membuat regulasi itu, seluruh pihak perlu menekankan tentang akses, partisipasi, dan kontrol secara adil.
“Agar baik perempuan maupun laki-laki dapat berkembang dan berkontribusi secara demokratis membangun keluarga dan bangsa,” tuturnya.