Bisnis.com, JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga mengundang kontroversi karena dianggap mengatur hingga ke ranah privat. Beberapa pasal dalam draf RUU tersebut dipertanyakan karena terlalu rigid mengatur keluarga.
RUU Ketahanan Keluarga terdiri atas 15 bab dan 146 pasal. Beberapa bab mengatur tentang penyelenggaraan ketahanan keluarga, pengasuhan anak dan pengampuan, sistem informasi ketahanan keluarga serta peran masyarakat dan bab pemantauan dan evaluasi.
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Augustina Situmorang menerangkan bahwa sejumlah pasal berpotensi kontraproduktif bahkan tidak memandang kesetaraan gender.
Dia mencontohkan tentang peran suami dan istri. Setiap keluarga telah memiliki strategi yang disepakati bersama. Namun dalam rancangan regulasi itu,peran suami dan istri dianggap terlalu mencampuri.
Seperti pada pasal 25 tentang pembagian kewajiban suami dan istri. Suami berkewajiban, sebagai kepala rumah tangga, melindungi keluarga dari diskriminasi, melindungi diri dari penyimpangan seksual serta melindungi diri dari pelbagai masalah perjudian, pornografi, dan seks bebas.
Sedangkan, kewajiban istri dalam pasal itu yaitu mengatur urusan rumah tangga, keutuhan keluarga dan memperlakukan suami dan anak secara baik serta memenuhi hak-hak suami dan anak secara baik.
Baca Juga
“Pasal tersebut berpotensi tambah mengecilkan peran perempuan di ranah publik. Salah satu tujuan SDGs adalah meningkatan partisipasi perempuan di pasar kerja,” kata Augustina di kantor LIPI, Jakarta, Jumat (6/3/2020).
Pasal itu, lanjut Augustina, akan menjadi amunisi atau senjata yang digunakan oleh masyarakat berpandangan fundamental atau konservatif. Padahal pasal ini diyakini mengecilkan peran perempuan di masyarakat.
Di sisi lain, pendidikan tingkat perguruan tinggi lebih banyak dijalani oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Kendati begitu, angkatan kerja perempuan lebih rendah dibandingkan dengan kaum Adam.
Soal pemenuhan aspek ketahanan keluarga yang diatur pasal 37, ayat 3 menerangkan tentang kewajiban keluarga untuk mendampingi orang tua lanjut usia. Padahal menurut Augustina, 61,75 persen lansia masih berstatus sebagai kepala rumah tangga.
Draft RUU Ketahanan Keluarga juga mengatur tentang hak cuti melahirkan dan menyusui selama 6 bulan. Ketentuan itu diatur pada pasal 29 ayat 1. Menurut Augustina secara harfiah tujuan pasal ini cukup baik, namun dia menyebut aturan ini agaknya mengancam kesempatan kerja para perempuan.
“Kesempatan kerja perempuan untuk mendapatkan kesempatan kedudukan strategis dalam pekerjaannya. Sementara dalam hasil penelitian pekerjaan, ibu yang bekerja tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap ASI ekslusif,” terangnya.
Menurut Augustina, berdasarkan survei Ibu-Anak P2 Kependudukan LIPI pada 2017, hanya 6,1 persen ibu tidak memberikan ASI ekslusif kepada bayinya karena bekerja. Malah, 62,7 persen menyebutkan bahwa ASI tidak diberikan karena air susu tidak keluar.
“Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah kami lakukan dan pendapat berbagai pihak, kami berpendapat RUU ketahanan keluarga saat ini belum menjadi prioritas untuk dibahas lebih lanjut,” ujar Augustina.
Sementara itu, Kurniawati Hastuti Dewi dari Pusat Penelitian Politik LIPI menerangkan bahwa RUU Ketahanan keluarga sebaiknya dikaji ulang agar tidak melanggar CEDAW atau The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).
“Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, Indonesia telah meratifikasi sejak 1984. Selain itu Indonesia telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9/2000 tentang pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional,” tutur Kurniawati.
Dia menyebutkan daripada membuat UU Ketahanan Keluarga, pemerintah atau dewan sebaiknya lebih memberikan akses partisipasi dan kontrol yang adil agar perempuan dan laki-laki dapat berkembang dan berkontribusi secara demokratis dalam keluarga dan negara.