Bisnis.com, JAKARTA--Beragam program pemberdayaan komunitas adat terpencil (KAT) kerap tidak tepat sasaran karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat adat. Pasalnya, terdapat perbedaan cara pandang perihal nilai kehidupan antara masyarakat adat dan masyarakat kota.
Saur Marlina Manurung atau lebih dikenal dengan Butet Manurung memberikan sejumlah catatan bagi semua pihak yang ingin meningkatkan taraf hidup masyarakat adat.
Hal itu disampaikan ketika menjadi pembicara pembuka acara Kementerian Sosial: Bersama Membangun Negeri, Peduli Komunitas Adat Terpencil di Jakarta, Selasa malam (11/2/2020).
Pertama, bantuan atau program pemberdayaan untuk masyarakat adat harus bersifat jangka panjang.
Beberapa jenis bantuan yang bisa diberikan kepada masyarakat adat antara lain fasilitas sekolah, pertanian, akses jalan dan lainnya.
Kedua, menutur pelopor pendidikan alternatif untuk masyarakat adat ini, pemberdayaan diharapkan tidak menciptakan ketergantungan baru.
“Misalnya membantu genset, di mana mereka harus mencari bensinnya? Atau di Papua misalnya membantu sepatu padahal mereka biasa kaki kosong, ketika sepatu jebol mereka kesulitan lagi. Bantuan yang gegar budaya dan malah membawa kemunduran,” ujarnya.
Ketiga, pendekatan partisipatif di mana masyarakat adat harus dilibatkan. Menurutnya, terdapat perbedaan konsep bahagia menurut orang kota dan masyarakat adat terpencil.
Dia mencontohkan, rumah bagi Orang Rimba adalah hutan sehingga membangun rumah bagi mereka artinya memberikan kandang. Program pipa air juga demikian karena bagi Orang Rimba air adalah sungai dan mereka akan kasihan melihat air yang dialirkan melalui pipa.
“Local point of view itu penting. Mereka justru kasihan lihat orang kota airnya kecil, makanan dalam kulkas, bagi mereka makanannya seluas hutan,” tambahnya.
Keempat, bantuan yang diberikan perlu melibatkan warga yang mengenal baik komunitas adat terpencil. Akan lebih baik jika yang dilibatkan berasal dari komunitas adat terpencil sendiri.
Kelima, katanya, KAT tidak seperti orang kota yang pindah kota atau kos sebagai suatu yang biasa. KAT sangat terikat dengan teritori karena erat hubungannya dengan nenek moyang dan keyakinan.
“Kalau dipindahkan dari lokasi mereka, nenek moyang saya jauh, tuhan saya jauh. Program yang jauh dari lokasi sering susah karena mereka akan kembali ke lokasi mereka untuk berdoa atau ambil buah dan hasil dari sana,” jelasnya.
Keenam,pemberdayaan harus mengakomodasi hak-hak masyarakat adat. Dialog dengan masyarakat adat sebelum memulai progaram sangat penting.
Butet menuturkan berangkat dari pengalaman panjang mendampingi komunitas adat terpencil yang paling penting ialah peningkatan sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan.
Menurutnya, indikator keberhasilan pendidikan masyarakat adat ialah hadirnya kader yang kuat dari masyarakat adat sendiri yang memahami adat sekaligus memiliki pengatahuan luas.
“Ada ungkapan sekolah ajarkan ilmu pergi, SD di kampung, SMP dan SMA di kabupaten, kuliah di Pulau Jawa lalu tidak balik kampung. Mereka makin jauh dari realitas,” tegasnya.