Bisnis.com, JAKARTA – Pada pukul 23.00, Jumat (31/1/2020) waktu setempat, Inggris akan secara resmi menarik diri dari Uni Eropa. Inggris memutuskan hubungan yang telah berlangsung selama 47 tahun dengan mitra dagangnya dan mendefinisikan kembali sebagai negara yang berdiri sendiri.
Pagi hari di pojok toko roti Aux Merveilleux de Fred di jantung kota London, Aicha Boubakri, 30, sedang mengatur barisan rapi krim pastel di depan pelanggan toko.
"Agak menyedihkan — fakta bahwa Inggris tidak akan lagi berada di Eropa. Akan lebih sulit untuk datang ke sini," kata Boubakri.
Boubakri merupakan warga yang tinggal di distrik South Kensington, salah satu distrik Eropa di ibu kota Inggris. Di wilayah ini, para migran berkumpul bersama dengan sesama asal negara yang sama, membuka toko dan restoran, dan membesarkan dan mendidik anak-anak. Mereka telah membawa rasa negara asal ke kota yang telah dibentuk oleh gelombang imigrasi selama lebih dari 2.000 tahun terakhir.
Distrik South Kensington di London/Bloomberg
Sekarang, warga Eropa di London menghadapi momen perubahan besar. Pada pukul 23.00 hari Jumat (31/1/2020), Inggris akan secara resmi menarik diri dari Uni Eropa, memutuskan hubungan yang telah berlangsung selama 47 tahun dengan mitra dagangnya dan mendefinisikan kembali Inggris sebagai negara yang berdiri sendiri.
Awalnya, tidak ada hal besar yang akan berbeda. Aturan UE akan terus berlaku hingga akhir tahun di bawah pengaturan transisi. Tetapi secara budaya, secara hukum, dan mungkin secara emosional, Inggris akan mengalami guncangan hebat, langsung menjadi negara yang berbeda ketika Brexit selesai.
Setelah keanggotaan UE berakhir, berakhir pula lah pergerakan bebas warga negara Eropa ke Inggris, begitu pun dengan hak rakyat Inggris untuk pindah ke 27 negara yang tersisa di blok tersebut.
Aturan visa baru Inggris akan melibatkan sistem berbasis poin yang dirancang untuk menarik "yang terbaik dan paling cerdas" di dunia, dan mencegah pekerja berketerampilan rendah dari Eropa.
Kebijakan itu dirancang untuk menarik hati warga Inggris kelas pekerja yang mendukung Perdana Menteri Boris Johnson, pertama dalam referendum Brexit 2016 dan kemudian pada pemilihan umum bulan lalu. Tapi, dari waktu ke waktu sepertinya, Brexit akan mengubah selamanya sifat London dan mungkin juga seluruh Inggris.
Dengan rumah-rumah megah dan jalan-jalan yang dibatasi pepohonan, South Kensington telah menjadi tempat yang ramah bagi penduduk Prancis, yang merasa sebagian besar warga London tidak pernah menginginkan Brexit.
Meski begitu, Melinda Kourouma, manajer toko di salah satu binatu, sudah berpikir untuk kembali ke Prancis lebih awal dari yang direncanakan.
"Mereka seperti mengatakan jika Anda tidak memiliki keterampilan khusus, Anda mungkin tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih tinggi, jadi saya pikir banyak dari kami tidak akan punya banyak alasan untuk menetap. Kami akan melihat banyak perubahan,” ungkapnya, seperti dikutip Bloomberg.
Di Ealing, London Barat, banyak imigran dari Eropa timur membuka toko roti, praktik dokter, dan gereja sendiri.
"Saya kira saya tidak akan tinggal," kata Adelina Moisa, yang tiba dari Rumania tiga tahun lalu dan sekarang mencari nafkah sebagai perawat.
Ditanya apakah menyukai Ealing, Moisa mengatakan "Bisa lebih baik." Upah yang lebih tinggi di London adalah daya tarik utama tetapi Brexit telah menghapus daya tarik tersebut.
Bagi banyak penduduk serta bisnis yang berbasis di ibu kota, pemungutan suara Brexit 2016 adalah sebuah tragedi. London sendiri memberikan suara sangat besar untuk tetap berada di dalam UE tetapi dikalahkan oleh jutaan warga di seluruh penjuru negara yang skeptis dengan zona euro.
Selama empat tahun terakhir, politisi pro-Eropa telah bersatu, sering mengesampingkan loyalitas partai, dan mencoba menghentikan kerusakan yang mereka khawatirkan terhadap perekonomian karena dampak Brexit. Banyak yang mencari cara untuk membalikkan hasil referendum sepenuhnya.
Kampanye itu akhirnya "mati angin" pada 12 Desember ketika partai Tories memenangkan mayoritas suara dalam pemilihan umum, menghancurkan semua harapan bagi sisa-sisa warga Inggris bahwa Brexit dapat dihentikan.
Orang-orang pro-Eropa lainnya melihat alasan untuk terus berjuang, meskipun Brexit sekarang tidak bisa dihindari. Selama 11 bulan ke depan, Johnson akan menjalani negosiasi yang intens dengan 27 anggota UE yang tersisa. Ia akan mencoba mengamankan kesepakatan perdagangan yang akan menentukan tingkat kerja sama dalam segala hal, mulai dari perikanan hingga keamanan dan perlindungan data.
"Jika telah kalah ‘perang’ dalam arti bahwa kita tetap keluar dari Uni Eropa, maka masih ada perdamaian yang dapat dimenangkan," kata Alistair Carmichael, anggota Parlemen dari partai Demokrat Liberal.
“Brexit terjadi pada hari Jumat tetapi ada banyak politik yang masih harus dilakukan setelahnya,” lanjutnya.
Tetapi Carmichael dan banyak pemimpin bisnis di London mungkin kehilangan inti dari Brexit. Referendum 2016 silam tidaklah bertujuan untuk stabilitas ekonomi atau untuk melindungi perusahaan dari kesulitan. Referendum Brexit didorong oleh kampanye Johnson yang menginginkan "kedaulatan," untuk "mengambil kembali kendali", serta kendali atas perbatasannya.
Pejalan kaki mengibarkan bendera UE dan Inggris di Brussels pada 30 Januari 2020/Bloomberg
Dalam batas tertentu, Brexit juga merupakan serangan terhadap warga London dan para elitnya yang kaya dan berkuasa, sebuah pukulan yang disambut gembira oleh para pemilih di seluruh Inggris yang merasa ada kesenjangan dengan ibu kota.
Berbeda dengan warga London, Pulau Canvey di Essex merupakan rumah dari sebagian pro-Brexit di Inggris, sekaligus tempat yang dipilih veteran euro-skeptis Nigel Farage untuk memulai kampanye Brexit lima tahun lalu.
Meskipun hanya berjarak 64 km dari London, Penduduk Pulau Canvey menantikan pesta pada Jumat malam. Bagi banyak orang, ini adalah saat Inggris mendapatkan kembali kebanggaannya dan mengambil kembali kendali atas masa depannya. Beberapa orang berencana untuk mengeluarkan bendera Union Jack mereka, makan hidangan sosis dan kentang tumbuk, serta merayakan Brexit dengan minum bir.
Lisa Slater, 59, memilih Brexit tetapi mengatakan dia “mencintai” orang Eropa. Masalahnya adalah bahwa dia tidak ingin mereka, atau penguasa mereka, mendikte warga Inggris untuk melakukan sesuatu.
"Saya pikir ekonomi kita akan makmur. Begitu semua orang tahu Inggris tidak akan berubah menjadi negara dunia ketiga dan kami hidup makmur, yang lain akan mengikuti," ungkap Slater.
Adam Woods, 38, yang bekerja di taman hiburan Fantasy Island, mengatakan dia memilih Brexit untuk mendapatkan kembali kendali atas imigrasi dan pembuatan undang-undang, dan dia percaya Inggris dapat "berkembang" jika pemerintah melakukan tugasnya dengan baik. Meninggalkan UE akan mengembalikan rasa "identitas Inggris," kata Woods.
“Setiap negara harus memiliki identitasnya sendiri. Itulah masalah dengan UE, Anda dapat melihat semuanya menjadi sama," Woods menjelaskan.
Terlepas dari pengaruh hampir setengah abad keanggotaan UE, bagi banyak warga negaranya, Inggris tidak pernah benar-benar menjadi ‘Eropa’. Sekarang, akhirnya Inggris bisa benar-benar berhenti menjadi bagian dari Uni Eropa.