Bisnis.com, JAKARTA - Tiga tahun setelah pengumuman larangan bagi imigran muslim masuk ke AS oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Partai Demokrat menyataan akan segera mengajukan rancangan undang-undang (RUU) yang akan mencabut larangan tersebut sekaligus membatasi presiden dari sikap diskriminatif atas agama.
Ketua DPR Nancy Pelosi mengatakan DPR akan mempertimbangkan undang-undang untuk membatalkan larangan bagi imigran Islam masuk AS, kecuali pemerintah memberikan bukti kuat untuk membenarkannya setelah berkonsultasi dengan Kongres.
"Partai Demokrat DPR menentang pelarangan perjalanan bagi warga non-AS oleh Presiden Trump dalam semua literasinya,” ujar Nancy seperti dikutip Aljazeera.com, Selasa (28/1/2020).
Ketua Komite Kehakiman DPR, Jerrold Nadler mengatakan kemarin bahwa panelnya akan mengajukann RUU tersebut dalam dua minggu. RUU ini diperkenalkan pada bulan April, dan didukung oleh hampir 250 anggota Kongres dan ratusan hak-hak sipil, kelompok agama, unsur keamanan nasional dan organisasi masyarakat dari seluruh penjuru negeri.
Tiga tahun lalu, dalam tindakan memalukan dan diskriminasi yang nyata, Presiden Trump dan pejabat pemerintah mengeluarkan larangan perjalanan yang berlebihan dengan menargetkan negara-negara mayoritas Muslim.
RUU itu memiliki peluang untuk disahkan di DPR yang dipimpin Demokrat, tetapi menghadapi pertempuran berat di Senat yang dikuasai Partai Republik.
Baca Juga
Dalam konferensi pers yang diadakan di luar Senat AS, Senator Demokrat Chris Coons mengecam apa yang disebutnya "penggunaan kekejaman yang disengaja" dalam kebijakan imigrasi Trump.
Dia juga mengatakan larangan masuk umat muslim didasarkan pada "prasangka, populisme dan diskriminasi", bukan pertimbangan fakta atau keamanan sudah harus ditnggalkan.
"Seluruh upaya kami dalam memperkenalkan undang-undang ini dan mencoba mengajukannya adalah untuk mengatakan Mahkamah Agung kami salah," kata Coons kepada wartawan.
Larangan perjalanan pertama oleh Trump, yang menargetkan beberapa negara mayoritas muslim, diumumkan tanpa peringatan pada 27 Januari 2017 atau beberapa hari setelah presiden menjabat.
Hal itu menciptakan kemarahan dan menyebabkan kekacauan di bandara di seluruh negeri karena ratusan pelancong ditahan dan ribuan visa yang sebelumnya dikeluarkan ke AS dicabut.