Bisnis.com, BANTUL - Pada umumnya, orang yang sudah lanjut usia banyak berada di rumah dan mendapat pelayanan dari anak atau saudara-saudaranya, tanpa harus susah payah mencari uang untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Namun tidak dengan Ngatiyem, perempuan yang diperkirakan usianya sudah lebih dari 100 tahun itu masih semangat berjualan.
Waktu masih menunjukan pukul 13.30 WIB. Ngatiyem terpaksa harus pulang lebih awal karena hujan deras mengguyur wilayah Bantul dan sekitarnya.
Seluruh kulitnya sudah keriput, jalannya sudah membungkuk. Ia berjalan tertatih-tatih sambil mendorong troli berisi dagangan. Tidak banyak dagangan yang yang ada dalam troli, hanya ada beberapa bungkus kerupuk.
Ngatiyem bahkan tidak menghiraukan baju yang dikenakannya sudah basah kuyup. Sesekali ia mengusap wajahnya dengan lengan akibat percikan air hujan. Kedua tangannya tetap memegang troli berisi dagangan.
Siang itu, ia baru berangkat berjualan dari rumahnya di Dusun Kweni RT 03, Desa Panggungharjo, Kecamatan, Sewon, Bantul, sekitar pukul 12.30 WIB. Namun baru sampai Jalan Bantul air sudah turun dari langit.
Padahal biasanya ia berjualan sampai Alun-Alun Kidul (Alkid) Kota Jogja. Saban hari dia berangkat pagi pukul 05.00 WIB ke Pasar Beringharjo untuk kulakan dagangan dan diantar oleh tukang becak. Setelah itu ia berjualan di sekitar Alkid. Sekitar pukul 11.00 WIB pulang untuk makan dan berangkat kembali setelah zuhur dan baru pulang ke rumah pukul 16.00 WIB.
Namun jika hujan, ia biasanya berjualan di depan masjid di pinggir Jalan Bantul yang jaraknya sekitar 300 meter dari rumahnya. “Si Mbah nyambut gawe nggo tuku maem, sangu bada [Saya bekerja untuk mencari uang untuk makan dan persiapan Lebaran],” kata Ngatiyem, Rabu (18/12/2019) lalu, saat ditemui Harian Jogja, di rumahnya.
Suaranya masih lantang, tetapi pendengarannya sudah berkurang sehingga lawan bicara harus berteriak jika berbicara dengannya. Namun matanya masih awas, ia bisa mengenali orang, bahkan bisa membedakan nominal uang dari dari ribuan sampai seratus ribuan dan lancar menghitungnya.
Ia juga termasuk orang yang jarang sakit, “Paling-paling hanya mengeluh sakit di bagian punggung dan persendian, selebihnya jarang,” kata Subagyo, 55, yang tinggal satu rumah dengan Ngatiyem.
“Andalannya itu minyak kayu putih sama tempel koyo. Setiap hari pasti habis satu botol minyak kayu putih, kalau tidak pakai tidak bisa tidur,” ujar Subagyo.
Dalam urusan makan pun, kata Subagyo, Ngatiyem tidak ada pantangan. Makan satai, bakmi, dan makanan pedas juga tidak menjadi persoalan bagi Ngatiyem. Bahkan Ngatiyem masih sering minum kopi.
Subagyo merupakan suami dari Rajinem, 52. Rajinem merupakan cucu dari Dirjo, yang merupakan saudara kandung Ngatiyem. Ngatiyem awalnya tinggal dengan Ratiyem atau ibu dari Rajinem, tetapi karena Ratiyem sudah meninggal pada 2014 lalu, sehingga Ngatiyem diurus oleh Rujinem.
Rujinem tidak tahu pasti berapa usia Ngadiyem yang saat ini dianggap sebagai ibu angkat tersebut. Namun ia meyakini usianya lebih dari 100 tahun.
Menurut Rujinem, ibu angkatnya tersebut kelahiran Pundong tetapi sejak remaja sudah tinggal bersama kakek dan ibunya di Kweni. Meski tinggal di Kweni, Ngatiyem jarang di rumah dan lebih banyak berada di Pasar Bringharjo, berjualan berbagai macam makanan. Ngatiyem sempat menikah satu kali dengan Kerto, warga Prambanan, tetapi hingga suaminya meninggal dunia sekitar 1990an, Ngatiyem tidak dikaruniai anak.
Rujinem mengaku sudah mengingatkan berkali-kali kepada ibu angkatnya tersebut agar tetap di rumah saja dan tidak bepergian. Namun Ngatiyem sulit untuk dicegah dan bisa “ngamuk” dan berkata kasar. “Katanya ‘awakku lara kabeh nek neng omah terus’” kata Rujinem menirukan kata-kata Ngatiyem.
Ngatiyem sempat terkena razia Satpol PP DIY dan tinggal seminggu di panti sosial di Jalan Parangtritis, Sewon. Namun hanya seminggu dikembalikan ke rumah karena tidak mau makan di panti. Setelah di rumah, Ngatiyem kembali lagi berjualan sendiri di Alkid.
Menurut Subagyo, tidak banyak hasil dari berjualan Ngatiyem. Namun sering orang yang membeli kerupuk tersebut biasa melebihkan harganya sehingga tidak heran Ngatiyem setiap hari mampu membayar tukang becak yang sering mengantarkannya yang ongkosnya mencapai Rp40.000. Terkadang Ngatiyem juga memberikan uang kepada Subagyo atau Rujinem Rp10.000-15.000 dengan alasan untuk makan. “Padahal makan setiap hari sudah kami siapkan. Makanya uang dari Simbah [Ngatiyem] ini kami simpan untuk keperluan Simbah,” kata Subagyo.
Subagyo bekerja serabutan dan Rujinem merupakan pembantu di salah satu klinik. Meski pemasukan tidak seberapa, Subagyo mengaku masih mampu untuk menghidupi ibu angkat dari istrinya tersebut.
Perhatian Pemerintah
Meski lansia yang masuk kategori miskin, Ngatiyem tidak masuk dalam daftar penerima bantuan, baik bantuan pangan non tunai (BPNT) maupun bantuan program keluarga harapan (PKH), serta bantuan makanan yang diberikan melalui desa juga tidak terdata.
Rujinem mengaku tidak tahu ibu angkatnya itu tidak mendapat bantuan. Kondisi ini kontras dengan berbagai prestasi yang diraih Desa Panggungharjo di tingkat kabupaten hingga nasional. Bahkan pada awal November lalu, BUM-Des Panggung Lestari milik Desa Panggungharjo dapat penghargaan tingkat ASEAN di Myanmar.
Desa Panggungharjo merupakan salah satu desa yang sukses dalam mengelola Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des), melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, serta banyak memberdayakan warga dalam pembangunannya.
Ketua Badan Pelaksana Jaminan Pengaman Sosial (Bapel JPS) Desa Panggungharjo, Jamiluddin mengakui Ngatiyem belum masuk dalam daftar penerima bantuan makanan Boga Sehat dan pemeriksaan kesehatan gratis tiap bulan. “Ini kami sedang mendata,” kata Jamiluddin.