Bisnis.com, JAKARTA – Seorang tokoh politik Singapura diperintahkan oleh negara untuk mengoreksi status yang dia unggah di media sosial Facebook yang mengandung informasi palsu atau hoaks. Ini adalah pertama kalinya Negara Singapura menerapkan Undang-undang Anti-Hoaks atau berita palsu.
Dikutip dari Reuters, Senin (25/11/2019), pemerintah Singapura meminta politisi Brad Bowyer mengoreksi postingannya di Facebook yang mempertanyakan independensi perusahaan-perusahaan investasi negara.
Dalam pernyataan di situs web pemeriksa fakta resmi pemerintah, status Bowyer itu dinilai “salah dan menyesatkan” karena menuduh pemerintah mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh investor negara Temasek Holdings dan GIC.
Bowyer juga dianggap melanggar Undang-undang Perlindungan dari Kepalsuan dan Manipulasi Online (POFMA). Atas dasar itu, pemerintah melalui POFMA meminta Bowyer untuk mengoreksi status yang dia posting.
Selain itu, dia juga harus menempatkan pemberitahuan koreksi dengan tautan ke pernyataan pemerintah di atas postingan Facebooknya.
“Saya tidak memiliki masalah dalam mengikuti permintaan itu, karena saya merasa adil untuk memiliki kedua sudut pandang dan klarifikasi dan koreksi fakta bila diperlukan,” kata Bowyer dalam sebuah pernyataan di Facebooknya.
“Secara umum, saya memperingatkan semua orang yang mengomentari politik dalam negeri kita dan masalah sosial untuk melakukannya dengan hati-hati dan perhatian, terutama jika Anda berbicara dari posisi yang berpengaruh.”
Bowyer, seorang warga Singapura yang dinaturalisasi, lahir di Inggris , pernah menjadi anggota partai yang berkuasa dan oposisi.
Seorang juru bicara untuk kantor POFMA yang baru dibentuk Singapura, menyatakaan koreksi yang diminta oleh Menteri Keuangan Singapura itu adalah kasus yang pertama di bawah UU yang baru mulai berlaku pada Oktober lalu.
Kelompok-kelompok HAM telah menyuarakan keprihatinan bahwa UU berita palsu akan digunakan untuk meredam kebebasan berbicara di negara itu, di mana partai yang berkuasa dengan nyaman memenangkan setiap pemilihan sejak kemerdekaan pada 1965.
Singapura mengatakan sangat rentan terhadap berita palsu karena posisinya sebagai pusat keuangan global, populasi etnis dan agama yang beragam serta akses internet yang luas.