Bisnis.com, JAKARTA – Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko memberikan klarifikasi terkait kesalahpahaman pernyataannya kepada jurnalis, Senin (23/9/2019) di Istana. Menurutnya, kepastian hukum menjadi faktor penting bagi peningkatan investasi di Indonesia.
“Maksudnya Undang-Undang KPK yang baru memberikan beberapa landasan bagi kepastian hukum, termasuk bagi investor,” kata Moeldoko dalam siaran persnya.
Ia mencontohkan pemberian wewenang bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3). Orang yang menjadi tersangka dan sudah bertahun-tahun tidak ditemukan bukti, statusnya tidak bisa dicabut.
Menurutnya, penetapan status tersangka yang tanpa kepastian sampai kapan akan menjadi momok bagi investor untuk menanamkan modalnya. Dengan undang-undang yang baru, KPK bisa menerbitkan SP3 dan itu menjadi kepastian hukum yang bisa menjadi nilai positif bagi investasi.
Hal lain misalnya terkait dengan keberadaan Dewan Pengawas bagi KPK. Dewan ini akan lebih membantu KPK bekerja sesuai perundangan yang berlaku termasuk dalam penyadapan. Kepastian hukum inilah yang diyakini akan membuat investasi di Indonesia akan lebih baik.
“Jadi maksud saya bukan soal KPK nya yang menghambat investasi. Tapi KPK yang bekerja berdasarkan Undang-Undang yang lama masih terdapat celah kurangnya kepastian hukum, dan ini berpotensi menghambat investasi,” kata Moeldoko.
Lembaga KPK, bagi Moeldoko akan semakin kuat dan kredibilitasnya terjaga dengan sejumlah revisi untuk memberi kepastian hukum bagi investor.
Sebelumnya diberitakan bahwa Moeldoko mengatakan keberadaan KPK bisa mengganggu investasi di Indonesia. Itu sebabnya pemerintah dan DPR sepakat merevisi UU 30/2002 tentang KPK.
TAFSIR EKONOMI
Menanggapi hal itu, peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi, dan Sosial (LP3ES) Malik Ruslan mengatakan pernyataan itu mengindikasikan ada kesamaan antara karakter pemerintah saat ini dengan Orde Baru.
Menurutnya, pemerintah mengedepankan tafsir ekonomi dan hukum ketimbang tafsir politik saat merevisi UU KPK.
“Ada kesamaan karakter rezim hari ini dengan Orde Baru. Kedua [rezim] menggunakan pendekatan barter. Orba membarter kebebasan dengan pertumbuhan ekonomi. Hari ini, investasi hendak dibarter dengan pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Dia menuturkan KPK sebelumnya terjebak di antara dua tafsir, yaitu politik dan hukum. Hasilnya, KPK menjadi ruang pertarungan paling keras antara jaksa penuntut dan pengacara koruptor.
Selama bertahun-tahun, lanjutnya, keberadaan KPK selalu di-back up dengan tafsir politik. Namun, KPK meninggalkan satu misi penting yaitu landasan berpikir untuk membenahi moral bangsa.
Ketika landasan moral ditinggalkan, banyak orang merasa terganggu dengan penangkapan atau operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK.
“KPK meninggalkan satu tafsir paling esensial, yaitu moral. UU KPK yang direvisi saat ini pemicunya persoalan ekonomi, bukan moralitas. Kita tak pernah membenahi hulu, sementara KPK hanya bergerak di hilir. Kalau moral manusia sudah rusak, pakai sistem terbaik pun tetap rusak," imbuhnya.
Meski demikian, dia mengungkapkan KPK masih memiliki senjata yaitu pencegahan korupsi. Hal tersebut menjadi langkah terakhir KPK jika ingin tetap eksis. Pasalnya, dukungan politik yang dulu didapat dari berbagai pihak runtuh seketika kala DPR dan pemerintah sepakat merevisi UU 30/2002.
Revisi yang dilaksanakan hanya dalam tempo 13 hari tersebut menunjukkan kemenangan tafsir hukum. Eksistensi KPK makin melemah seiring gencarnya pemerintah menggaet investor dari luar negeri.
Bahkan, survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 menyebutkan tingkat antikorupsi turun dari 3,71 (2017) menjadi 3,66 (2018) dari skala 5. semakin dekat ke angka 5 semakin antikorupsi.
Selain itu, survei BPS yang dirilis 16 September 2019 menyatakan masyarakat semakin permisif terhadap tindakan korupsi. “Kalau mau kuat dan menginternalisasi visi-visi antikorupsi, KPK harus masuk ke semua lembaga. KPK hadir dimana dimana.INi pekerjaan jangka panjang dan gak bisa selesai seketika.”