Bisnis.com, HONG KONG – Pemerintah Hong Kong benar-benar memanfaatkan ajang Belt and Road Summit 2019 sebagai ajang untuk keluar dari ancaman resesi.
Seperti diketahui, survei IHS Markit yang dirilis awal September ini menjelaskan kondisi perekonomian negara yang pernah bernaung di bawah Kerajaan Inggris tersebut. Lihat saja, indeks pembelian Hong Kong anjlok 40,8 pada Agustus, dari sebelumnya 43,8 pada Juli. Angka ini menujukkan terjadi penurunan paling signifikan bagi sektor swasta sejak 10 tahun terakhir.
Pada kuartal kedua tahun ini pun, pertumbuhan ekonomi Hong Kong tergelincir 0,4 persen dibandingkan kuartal pertama. Hasil ini menunjukkan bahwa capaian tersebut merupakan yang terburuk dalam satu dekade terakhir sebagaimana diungkapkan oleh harian South China Morning Herald, Rabu (11/9/2019).
Bisa dibilang, Hong Kong sedang ketiban sial. Di satu sisi, negara yang saat in bernaung di bawah China itu turut terdampak perang tarif yang dilancarkan oleh negara induknya menghadapi Amerika Serikat meski antara Hong Kong dan Amerika terjalin Policiy Act di mana Negeri Paman Sam memberikan perlakuan yang berbeda kepada Hong Kong sejak peralihan administrasi pemerintahan dari Inggris ke China pada 1997.
Meskipun demikian, perang tarif ini tetap berimbas terhadap Hong Kong. Hal ini dikarenakan negara kota itersebut selama ini Hong Kong menjadi hub untuk reekspor antara kedua negara. Dengan kata lain, Hong Kong memainkan peran sebagai perantara alias makelar antara kedua negara adidaya itu.
Berdasarkan data yang dihimpun,nilai produk China yang mencapai US$34 miliar, Pemerintah Hong Kong mengatakan bahwa 17 persen atau sekitar US$7,6 miliar ekspor barang-barang tersebut ke Amerika, melalui Hong Kong. Selain itu, 9 persen atau US$765,2 juta ekspor Amerika ke China, melalui Hong Kong. Reekspor itu bahkan mencapai 1,4 persen dari total perdagangan Hong Kong.
Karena itulah, Hong Kong sangat berkepentingan dengan penyelesaian perang dagang antara Amerika dan China di mana pada awal Oktober mendatang, kedua belah pihak akan menggelar pertemuan untuk membahas hal tersebut.
“Saya mengharapkan hasil yang positif dan terjadi perkembangan positif selama pembicaraan itu,” kata Edward Yau Tang, Sekretaris Perdagangan Pemerintahan Administrasi Hong Kong.
Sudah begitu, situasi politik di Hong Kong juga turut menghantam perekonomian hingga limbung. Aksi demonstrasi yang terjadi secara terus-menerus selama tiga bulan terakhir karena dipicu oleh rencana pemberlakuan aturan ekstradisi bagi para tersangka kriminalitas ke China.
Hingga kini belum ada tanda-tanda gelombang demonstrasi itu akan berakhir. Bahkan terakhir, pada Senin (9/9/2019), dalam sebuah long march menuju Konsulat Amerika Serikat untuk meminta campur tangan negara itu, sebagian demonstran mengamuk dan membakar Stasiun Pusat MTR, kereta bawah tanah kota itu.
Lantaran hal itu, kunjungan wisatawan dan pebisnis ke Hong Kong anjlok hampir 40 persen selama Agustus dibanding tahun sebelumnya atau jauh di bawah angka penurunan sebesar 5 persen selama Juli.
Berdasarkan catatan Bisnis, tingkat hunian hotel di beberapa lokasi turun menjadi sekitar separuhnya saja, sedangkan tarif kamar anjlok dari 40 persen menjadi 70 persen.
Kedatangan wisatawan dan pebisnis pada Juli diketahui turun 4,8 persen, dan menjadi penurunan yang pertama sejak Januari 2018 dan merupakan penurunan terbesar sejak Agustus 2016. Tidak hanya itu, penjualan ritel pada Juli diketahui mengalami penurunan terbesar sejak Februari 2016.
Karena itu, Pemerintah Administrasi Hong Kong yang dinakhodai Carrie Lam mengambil langkah cepat, untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan menengah ke bawah yang terdampak langsung dari situasi politik ini.
Mereka menyiapkan HK$5,5 miliar dengan perincian H$3,5 miliar untuk branding dan upgrate penjualan domestik sementara sisanya, HK$2 miliar digunakan sebagai dana ekspor dan pemasaran dan diperuntukkan bagi usah kecil dan menengah.
Tidak ketinggalan, dalam Belt and Road Summit 2019 ini, Pemerintah Hong Kong berupaya mempromosikan negara tersebut. Dalam pidato pembukaan kegiatan tersebut, Rabu (11/9/2019), Carrie Lam mengatakan bahwa Hong Kong menempati lokasi yang sempurna dalam jalur kerja sama Belt and Road yang digagas Pemerintah China itu.
“Terinspirasi dari janji manis Belt and Road, kami telah mengadopsi lima strategi dan diterapkan di seluruh aspek pemerintahan seperti meningkatkan koordinasi politik, memaksimalkan Hong Kong sebagai hub layanan profesional, membangun kemitraan dan kolaborasi dan memperomosikan proyek partisipasi Hong Kong,” ujarnya.
Dia kemudian menguraiakan keunggulan-keunggulan Hong Kong mulai dari letak strategis negeri itu yang menghubungkan barat dan timur, peran dalam perekonomian hijau di mana Pemerintah memberikan pinjaman US$13 miliar untuk menghubungkan arus dari perekonomian tersebut antara daratan China dan dunia.
“Selain menjadi pusat keuangan global, perdagangan dan logistik, kami juga menjadi hub layanan profesional yang mencakup layanan infrastruktur, serta aspek hukum dan keuangan. Pemerintahan saya bekerja keras untuk memfasilitasi kerja sama bisnis berbagai negara mulai dari delegasi Georgia, Hungaria, Spanyol, Serbia, Uni Emirat Arab. Sebelumnya kami melangsungkan perdagangan bebas dengan Australia,” urainya.
Mencari Dukungan
Di hadapan peserta kegiatan pula, Sekretaris Keuangan Pemerintah Hong Kong, Paul Chan mengatakan bahwa mereka memastikan kepada para pebisnis Hong Kong kompetitif sebagai pusat manajemen. Mereka juga siap memfasilitasi termasuk memberikan informasi bagi para pebisnis yang ingin mengembangkan jaringan usahanya.
“Selain itu, sebagai salah satu pusat keuangan dunia, likuiditas kami sangat cair dan kami juga memiliki infrasatruktur keuangan yang baik dan berbagai pilihan peningkatan modal mulai dari penawaran umum perdana saham dan sindikasi pinjaman hingga obligasi serta sukuk syariah. Semua itu dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan setiap proyek Belt and Road di mana saja,” ucapnya.
Tidak cukup dengan mempromosikan, Hong Kong pun mencari dukungan dan penguatan dari negara-negara peserta agar perekonomian negara itu bisa bangkit dari keterpurukan. Dalam diskusi mengenai kebijakan pemerintah terkait Belt and Road, Edwar Yau yang berperan sebagai moderator, meminta pendapat para pembicara tentang masa depan perekonomian negara itu.
Thaung Tun, Menteri Investasi dan Hubungan Ekonomi Luar Negeri Republik Myanmar yang menjadi salah satu pembicara mengatakan bahwa Hong Kong telah teruji sebagai negara yang memainkan peran penting pada jalur perdagangan dunia hingga keuangan. Lantaran hal itu, dia yakin akan terjadi rebound dalam perkeonomian negara itu.